muhasuh

muhasuh
situgintung

Tuesday 19 October 2010

MEMAHAMI MAKSUD SUATU HADITS


MEMAHAMI MAKSUD SUATU HADITS SEBUAH REORIENTASI PEMIKIRAN UMMAT UNTUK AKSI
(Hadits Pertama) 


PENDAHULUAN
Dalam pandangan ummat islam, hadits mempunyai kedudukan yang teramat penting. Ia merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Sebagai salah satu sumber hukum, hadits Nabi banyak dipakai sebagai legalisasi terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh ummat. Hal ini dimungkinkan karena Al-Qur'an tidak selamanya secara rinci memberikan putusan akhir bagi suatu permasalahan. Dalam posisi seperti inilah peran hadits amat dibutuhkan sebagai penjelas dari maksud Al-Qur'an tersebut. Namun demikian masih banyak diantara ummat islam yang kurang mampu menempatkan hadits secara proporsional. Kekurangmampuan dalam menempatkan hadits secara proporsional menyebabkan hadits nabi kehilangan elastisitas makna yang dikandungnya. Dengan kehilangan elastisitasnya, hadits nabi menjadi kering tak bernyawa. Kekeringan makna yang dimaksud adalah terlalu sempitnya penafsiran hadits oleh ummat. Hal seperti ini disebabkan oleh para pengkajinya yang masih mementingkan golongannya sendiri atau dengan kata lain berusaha melegalisasi pendapat yang dikemukakan oleh kelompok pengkajinya.

Beranjak dari permasalahan diatas, penulis berusaha membuat kajian terhadap beberapa buah hadits. Kajian hadits yang dimaksudkan adalah dari sisi penafsiran suatu makna hadits dengan memberikan tekanan makna yang universal, sehingga ia bisa dijadikan bahan renungan bagi semua pihak untuk melakukan aksi. Pada tahap pertama ini penulis ingin menguraikan tentang hadits Rasululloh Saw yang berbunyi : " Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.(HR. Muslim dr Abu Hurairah).

Dalam uraian tentang hadits pertama ini, penulis memadukan antara ayat Al-Qur'an dan hadits lain yang penulis anggap mendukung misi dari pembahasan hadits pertama ini. Maksudnya adalah agar apa-apa (hujjah) yang penulis kemukakan tidak menyimpang dengan apa yang penulis jadikan sandaran dalam pembahasan ini.
 
TENTANG HADITS PERTAMA
Sabda Rasululloh Saw : "Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya". (HR. Muslim dr Abu Hurairah).

Membaca dan menelaah hadits di atas dari pemahaman penafsiran yang dewasa ini beredar, kita akan tertuju pada sosok manusia yang telah wafat, karena (menurut penulis) hadits ini begitu amat populer manakala seseorang telah menjadi mayat. Penafsiran tersebut berkisar pada boleh tidaknya seseorang yang telah wafat itu "ditahlilkan". Sehingga dari boleh tidaknya melakukan hal tersebut akan membuat satu kesimpulan tertentu bagi mereka yang melaksanakannya yaitu bid'ah atau perbuatan mereka bertentangan dengan hadits tersebut dengan kata lain hadits tersebut hanya sekedar dijadikan legalitas pembid'ahan tanpa mau lebih dalam dan lebih jauh lagi merenungkan maksud dari hadits tersebut. Dan dengan kesimpulan akhir ini maka hadits ini seakan tidak bermakna dan tidak memotivisir kita untuk melakukan aksi, yang ada dan timbul adalah arena caci maki dan arena perpecahan ummat. Padahal bila direnungkan lebih jauh lagi, maka akan didapatkan 3 (tiga) pesan yang harus "diambil aksi" oleh orang islam sebelum ia mati bukannya setelah mati. Ketiga pesan itu adalah shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh (generasi mumpuni). Ketiganya merupakan hal yang sangat prinsipil sekali dalam kehidupan seorang Muslim dan pergerakannya. Ketertinggalan ummat islam atau kemunduran ummat islam selama ini disebabkan oleh pengabaian yang teramat lama akan hal-hal tersebut diatas.

Untuk itu pada bagian-bagian selanjutnya penulis akan menguraikan tentang ketiga pesan dari hadits pertama. Dalam penguraian ini, penulis tidak menjabarkannya dari sudut kebahasaan (definisi dalam bahasa Arab), tetapi lebih menekankan pada hakekat dari inti permasalahan yang sedang dibahas.
 
SHADAQAH JARIYAH
Berbicara tentang shadaqah jariyah pada hakekatnya kita berbicara tentang dana (harta benda) yaitu bagaimana mendapatkannya dan bagaimana cara mengelolanya. Dana dimanfaatkan untuk menunjang gerak dakwah perjuangan. Sebab tanpa adanya topangan dana, dakwah islam akan mengalami kemunduran dan tidak efektif serta perjuangan islam lambat laun akan mati, dan tanpa adanya dana jurang pemisah antara sikaya dan simiskin akan semakin dalam. Maka wajarlah kalau pesan pertama dari hadits diatas adalah bagaimana kita menghimpun dana. Bukankah Rasul sendiri menyatakan kefakiran lebih dekat kepada kekufuran.

Dewasa ini pengumpulan dan pemberian dana oleh sebagian besar masyarakat islam (umumnya) dilakukan secara tak terorganisir. Misalnya menyumbang untuk jembatan, mushalla, untuk pengemis, dan lain-lain yang sejenisnya. Dikatakan tidak terorganisir karena dalam pelaksanaannya tidak ada suatu badan/instansi yang menarik dana secara khusus. Sehingga pada pelaksanaan ini terkesan sistem gali lubang tutup lubang. Padahal (menurut penulis) shadaqah jariyah adalah suatu gerakan secara terorganisir dalam mengumpulkan dana bagi suatu perjuangan dakwah islam. Ia harus dilakukan secara berkesinambungan dan terprogram. Dengan demikian continuitas pemberian dana serta adanya badan yang menampungnya akan mampu membekali program-program yang dicanangkan.

Untuk itu patut kita teladani pola pengumpulan dana yang dilakukan oleh "YAYASAN AMAL BHAKTI MUSLIM PANCASILA (YABMP)" pada masa ORBA dan BAZIS. Pengumpulan dana dilakukannya secara terorganisir dan continuitas, sehingga dana yang masuk setiap tahunnya dapat diperkirakan dan dengan demikian kedua lembaga tersebut telah mampu untuk membuat rancangan program secara teratur setiap tahunnya mungkin juga lebih. Kedua "Lembaga" tersebut (menurut penulis) telah mampu menangkap ruh (inti) dari hadits pertama ini (walaupun mungkin mereka melakukan aksi tidak karena hadits ini). Dana yang dihimpun oleh kedua lembaga ini digunakan sebagai sarana dakwah sehingga mampu menembus sasarannya yaitu kebutuhan ummat (terutama dalam Pembangunan Masjid-Masjid).

Hari ini dakwah islam (secara khusus) terpuruk pada ketiadaan dana sebagai penopang dakwah itu sendiri. Sebagian besar ummat telah terpenjara dengan jargon-jargon bahwa memenuhi kebutuhan dunia pada hakekatnya telah diperbudak oleh dunia itu sendiri, sehingga banyak ummat yang tidak peduli akan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi adapula sekelompok ummat yang peduli akan pemenuhan kebutuhan dunianya, namun mereka teramat asyik dengan urusan dunianya sehingga melupakan tanggungjawabnya sebagai ummat islam. Dua kondisi inilah yang senantiasa menghantui ummat islam untuk berkiprah. Padahal bila dikaji ajaran islam lebih dalam lagi, ternyata pemenuhan kebutuhan akan "dunia" dengan "akhirat" berada pada posisi yang seimbang. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa ayat Al-Quran, betapa Alloh memerintahkan kepada ummat islam agar senantiasa menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya. Dan Alloh menyatakan bahwa menafkahkan harta dijalan Alloh adalah merupakan jihad fisabilillah yang pertama setelah beriman pada Alloh dan Rasul-Nya (QS 61:10) dan merupakan ciri-ciri orang yang beriman (Qs 2:3).

Yang menjadi tanda tanya besar sampai hari ini adalah, bagaimana mungkin ummat dapat menopang dakwah islam kalau ummat sendiri tidak terdorong untuk melakukan aktivitas pada pemenuhan kebutuhannya? Atau ummat asyik dengan pendekatan hanya pada Tuhan tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial dalam kehidupannya.

Kesemuanya itu tentu saja membutuhkan semangat dan kerja keras dari ummat islam itu sendiri.
 
ILMU YANG BERMANFAAT
Ilmu merupakan identitas keberadaan manusia sejak awal penciptaan. Kelebihan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya salah satunya adalah masalah Ilmu. Ketika Nabi Adam A.S diciptakan, para Malaikat menggugat keberadaan Adam. Lalu dihadapkanlah kepada para Malaikat tentang "benda" dan ketika para Malaikat disuruh menyebutkannya mereka tak mampu. Lalu ketika Alloh perintahkan kepada Adam A.S untuk menyebutkannya, Adam mampu. Pada kesempatan itulah Malaikat mengakui eksistensi Adam lantaran Adam menguasai Ilmu.

Pada lain tempat Alloh memuji dan mendudukkan orang yang beriman dan berilmu pada beberapa tingkatan yang dikehendaki-Nya. (Qs 58:11)

Ketika Rasululloh ditanya oleh orang apa sebaiknya yang harus dimiliki untuk dapat hidup didunia, akhirat, atau kedua-duanya, beliau menjawab "Ilmu".

Betapa pentingnya ilmu itu sampai-sampai Alloh sendiri melarang ummat islam secara keseluruhan pergi kemedan laga, tapi diperintahkan-Nya agar sebagian ummat yang lain mempelajari Ilmu (Qs 9:122).

Pada kurun zaman ini ummat islam jauh tertinggal dalam hal penguasaan IPTEK dari ummat-ummat lain, yang menyebabkan ummat islam amat tergantung pada kemampuan ummat-ummat lain. Ketertinggalan ummat islam dalam hal IPTEK ini membuat ummat islam laksana hidangan yang dikelilingi anjing-anjing kelaparan. Ummat islam senantiasa menjadi objek bagi ummat lain. Dalam kondisi seperti inilah ummat islam menjadi imperior dan minder dalam percaturan politik dunia. Padahal bila kita kaji dan kita sadari, ajaran islam mendorong ummatnya untuk meraih ilmu seluas-luasnya. Perhatikanlah Al-qur'an, betapa ia berbicara tentang penciptaan manusia, hewan, ataupun masalah ruang angkasa, sejarah, masalah sosial, psikologi, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan Rasululloh Saw mewajibkan ummat islam untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahad.
 
ANAK (GENERASI) YANG SHALEH
Terbayang dalam fikiran kita tentang sosok anak yang shaleh adalah seorang anak yang hanya patuh dan taat pada orang tuanya. Pendapat seperti ini tidaklah salah, namun dengan ungkapan seperti di atas terkesan terjadinya salah persepsi tentang hadits ini. Maksudnya anak yang shaleh lebih cenderung dikategorikan pada anak yang mendalami hanya ilmu agama saja (penulis tidak setuju dengan pembedaan ini). Menurut penulis anak yang shaleh dalam hadits ini bisa diartikan sebagai generasi yang mumpuni/berkualitas. Ia memiliki kapabilitas yang tidak diragukan. Untuk itulah Nabi Zakaria A.S amat gundah sekali manakala diusia senja ia belum dikarunia seorang anak sebagai penggantinya kelak, ia senantiasa berdoa dan berdoa (QS.19:3-7).

Sebegitu pentingkah kehadiran seorang anak bagi suatu keluarga sehingga ia amat diharap-harapkan? Ya. Ia sangat penting bagi suatu keluarga. Bahkan bukan saja untuk keluarga tapi ia penting bagi kelanjutan perjuangan ummat islam. Tanpa adanya generasi yang mewarisi, maka tatanan perjuangan yang telah dibentuk akan menjadi kenangan sejarah belaka, dan akan tersimpan diperpustakaan-perpustakaan serta hanya menjadi bahan cemoohan.

Namun demikian generasi yang diharapkan bukanlah hanya mengandalkan dari segi jumlah saja, yang lebih utama adalah kualitas dari para generasinya. Bukankah Alloh mengingatkan kepada orang beriman agar jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah dikemudian hari? (QS 4:9).

Generasi berkualitas/Anak yang shaleh tidaklah datang dengan sendirinya, namun ia harus melewati beberapa tahap pembinaan. Tanpa adanya pembinaan maka generasi/anak yang shaleh tidak pernah akan terwujud. Untuk menciptakan generasi yang mewarisi, perlu kiranya para orang tua memikirkan pola pembinaan kepada anak-anaknya, sehingga nantinya generasi-generasi ummat islam itu mampu berkiprah dalam percaturan dunia dibawah panji-panji Islam. Pembinaan terhadap para generasi hendaknya diarahkan pada dua hal yang utama, yaitu pengenalan (pembinaan) akhlak-akhlak/ajaran Islam dan pembinaan Ilmu Pengetahuan Modern (IPTEK).

Pengenalan akhlak/ajaran Islam

Dewasa ini bisa kita saksikan dengan mata telanjang, betapa ummat islam hampir kehilangan identitas dirinya. Ia tidak lagi banyak mengenal akhlak/ajaran agamanya, baginya kehidupan adalah apa yang datangnya dari barat selain itu kuno dan ketinggalan zaman. Betapa pelecehan-pelecehan ajaran islam kian hari kian bertambah saja. Mode pakaian, pergaulan, perdagangan, dan lain-lain sudah tidak lagi memperhatikan ajaran islam. Ditengah kondisi seperti inilah para orang tua mempunyai tanggung jawab moral yang besar untuk membimbing dan membina serta mengarahkan anak-anaknya pada jalan yang semestinya yaitu ajaran islam. Bukankah Rasululloh Saw sendiri diutus untuk memperbaiki akhlak manusia? Untuk itulah pengenalan ajaran islam hendaknya sejak dini kita berikan kepada anak-anak kita.

Berkenaan dengan pengenalan (pembinaan) akhlak islam, Rasul mengingatkan kepada para orang tua betapa pentingnya pengenalan (pembinaan) anak itu. Sebab ditangan orang tualah anak akan menjadi generasi islam atau generasi kafir. Nabi Saw bersabda.:"Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau, Nasrani, atau Majusi". (HR. Bukhori dari Abu Hurairah).

Hadits ini mempunyai pengertian yang ganda, disatu sisi... secara lahir hadits bahwa anak kita bisa saja pindah ke agama-agama lain bila tidak kita berikan pendidikan dan pemahaman yang benar tentang Islam. Namun dalam pengertian yang lain makna hadits ini bisa lebih luas lagi yaitu akhlak anak-anak kita lambat laun akan mengikuti akhlak-akhlak agama lain. Bukankah dalam kondisi seperti itu anak kita bisa menjadi Nasrani, Yahudi, atau yang lainnya? Coba kita perhatikan sekeliling kita apakah cara berpakaian anak-anak islam sudah mencerminkan akhlak berpakaian Islam? Perhatikan pula cara pergaulan mereka, benarkah mereka menerapkan akhlak islam dalam pergaulannya? Tidak... sekali lagi tidak. Yang mereka ikuti adalah akhlak ajaran Yahudi dan Nasrani. Dalam Al-qur'an Alloh dengan tegas menyatakan bahwa mereka (Yahudi & Nasrani) tidak akan senang kepada kita sampai kita mengikuti ajakan/ajaran mereka (Qs 2:120). Dengan melihat kondisi seperti ini, mau tidak mau sebagai orang tua yang nantinya dimintai tanggungjawabnya oleh Alloh harus berusaha sekuat daya mendidik anak-anaknya. Sejak kecillah anak-anak kita kenalkan ajaran islam. Sebagai contoh, diwaktu kita shalat kita bawa ia shalat, jangan ia kita serahkan keorang lain disaat kita sedang shalat. Bukankah Rasul sendiri memerintahkan kepada kita agar mengajarkan anak kita shalat?

Tentu saja dalam pembinaan anak banyak kendala yang akan kita temui. Dari kondisi didalam rumah, Lingkungan sekitar, teman-teman bermainnya, dan juga masuknya alat-alat modern yang destruktif untuk perkembangan anak. Namun dengan kesungguhan dan niat yang suci hal ini insyaAlloh dapat diatasi.

Pengenalan Alat-Alat Modern
Penguasaan alat-alat modern merupakan suatu kebutuhan yang amat mendesak saat ini. Penguasaan alat modern membutuhkan kemampuan yang cukup, dan ini tentu saja membutuhkan manusia-manusia yang cakap dalam bidang ilmu (generasi mumpuni). Dan manusia yang cakap hanya dapat terwujud apabila kita sebagai orang tua mampu mengarahkan anak-anak kita sehingga anak-anak kita mau mempelajari dan berkecenderungan pada bidang keilmuan modern. Nabi yang suci bersabda "Didiklah anak-anakmu sebab ia diciptakan bukan untuk zamanmu". Betapa jauhnya pandangan Beliau Saw, Beliau sudah mampu memproyeksikan zaman yang akan datang berdasarkan wahyu dari Alloh. Dunia semakin lama berubah demikian juga dengan kemajuan makin lama makin meningkat. Bila hal ini tidak diantisipasi oleh para keluarga muslim didalam membina anaknya dengan ilmu-ilmu modern maka keberadaan ummat Islam akan tetap menjadi objek kemajuan ummat lain.

Dilain hadits beliau mengatakan "Ajarilah anakmu memanah, menunggang kuda, dan berenang". Hadits ini memberi pengertian yang amat luas. Pada zaman dahulu kuda, panah merupakan alat yang sangat modern sekali tentu saja pada kondisi hari ini ia harus kita artikan sebagai penguasaan alat-alat modern.

Pengenalan pertama yang harus kita berikan adalah menanamkan kedalam hatinya tentang pentingnya ilmu, lalu diwujudkan dengan pemberian alat bermain yang kreatif, dan kita dorong dia untuk senantiasa berfikir dan berfikir.

Pengenalan alat modern amat penting bagi kita dan generasi kita. Bukankah dengan mampunya negara adidaya menguasai IPTEK mereka bisa mendikte negara mana saja termasuk negara-negara islam untuk mengikuti kemauan mereka?
 
PENUTUP
Dari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, betapa pemahaman ummat dalam menangkap makna hadits perlu diubah sehingga ummat mampu memberikan sumbangsih kepada masyarakat sekitar sebagai wujud dari rahmatan lil 'alamin. Ladang-ladang pembidahan yang justru menghambat gerak laju dakwah harus segera disingkirkan dari pola pikir ummat.
Juga perlu kiranya difikirkan cara untuk mengelola ketiga potensi tersebut diatas, dengan membuat sebuah program kerja nyata untuk jangka panjang.

Jadi jelaslah bahwa Shadaqah jariyah, Ilmu, dan Anak Shaleh merupakan tuntutan yang mesti kita ciptakan. Hadits pertama diatas seharusnya memberikan semangat kerja dari kita selaku ummat islam. Sebab dengan memperhatikan ketiga-tiganyalah kelangsungan dakwah pergerakan islam akan berlangsung secara terus menerus.

Alloh Berfirman "...Dan Alloh tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri...".

Untuk itulah bila kita menghendaki agar perubahan terjadi pada pergerakan islam seyogianyalah kita memperhatikan hal-hal tersebut diatas sebelum ajal menjemput kita

Bagaimana Sikap Kita Terhadap "Perpecahan" Ummat Islam*)

I. Pendahuluan
   Memberikan definisi ukhuwah islamiyah bukanlah suatu pekerjaan mudah. Sebabnya, antara lain, istilah ini bukan hanya menyangkut sikap lahiriah, melainkan juga sikap batiniah. Tetapi, paling tidak kita dapat memberikan gambaran tentangnya, sebagaimana Rasululloh. Rasululloh menggambarkan ukhuwah Islamiyah dengan contoh-contoh, misalnya: "Muslim yang satu dengan yang lainnya seperti suatu bangunan yang saling kuat-menguatkan", atau dalam hadits lain disebutkan "sebagai satu tubuh yang apabila satu bagian sakit, yang lain akan ikut merasakannya".

   Ukhuwah islamiyah dapat terbentuk manakala ada pengikatnya, seperti firman Alloh : "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Din) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Alloh orang-orang yang bersaudara ; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (QS 3:103).

    Ayat di atas menggambarkan kepada kita betapa Alloh melarang terjadinya tafarruq dan digambarkannya kondisi ummat terdahulu. Karena berpegang teguh kepada Kitab Alloh, Alloh telah menanamkan cinta dan ketulusan sebagai pengganti benci dan kekotoran. Alloh mengingatkan mereka kepada persaudaraan yang telah dibentuk karena iman kepada Alloh, nikmat yang dianugerahkan Alloh atas mereka. Berakhirlah peperangan yang berat. Nikmat Alloh mempersatukan di dalam jiwa mereka: perasaan, kehendak, dan kemauan untuk mewujudkan cinta yang tinggi. Dengan ketulusan dan berkasih-kasihan dan saling membantu. Syiar mereka adalah takwa kepada Alloh dan bermanfaat bagi manusia.

    Namun dalam perjalanan riilnya, ukhuwah terasa sukar sekali untuk diwujudkan. Dari waktu ke waktu justru antar ummat islam saling caci-mencaci curiga mencurigai bahkan saling bunuh membunuh.
 

II. Sejarah Timbulnya Perpecahan Ummat
    Melihat kondisi perpecahan yang ada dan agar kita mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah, maka sudah selayaknyalah kita menghindarkan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Namun demikian hal ini tidaklah mudah sebab dalam tataran penafsiran seringkali banyak perbedaan antara penafsir satu dengan penafsir yang lainnya. Secara harfiah kembali pada Al-Qur’an berarti kembali kepada hal yang disepakati bersama. Tetapi dalam hal petunjuk untuk pengambilan keputusan hukum ayat -ayat Al-Qur’an tidak seluruhnya Qath’i; sebagian diantaranya bersifat Zhanni - artinya memungkinkan penafsiran yang bermacam-macam. Demikian juga sebaliknya dengan As-Sunnah.Perpecahan diantara ummat Islam, seperti yang disebutkan di atas, bukan merupakan suatu gejala baru melainkan sudah tercatat oleh sejarah sejak awal-awal perkembangan Islam. Untuk menilik apa yang menjadi penyebab perpecahan, penulis akan mengutip pendapat Jalaludin Rahmat : Bila berpegang pada tali Alloh merupakan syarat terwujudnya ukhuwah, maka meninggalkan tali Alloh dan berpegang pada "tali-tali" atau ikatan selain Alloh adalah sebab "tafarruq". (QS 6:153). Al-qur’an menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan orang islam meninggalkan ikatan (jalan) Alloh adalah :Dalam perspektif sejarah, ukhuwah Islamiyah telah menghadapi ancaman ketika meledaknya gejolak sosial pada masa kekuasaan khalifah ketiga Usman bin Affan (644-656) yang membawa terbunuhnya Khalifah yang sudah tua ini. Kemudian tampil Ali bin Abi Talib sebagai Khalifah yang keempat dari deretan al khulafa al-rasyidun. Ali sebagai seorang idealis tangguh ingin mengembalikan wibawa kekhalifahan sedemikian rupa seperti pada masa dua khalifah yang pertama, tapi kedatangannya sudah terlambat. Ukhuwah Islamiyah telah terlanjur retak. Pada masa beliau telah terjadi beberapa peperangan yang makin mencoreng lembaran sejarah ukhuwah islamiyah, yaitu terjadinya perang antara Aisyah isteri Nabi dengan Ali yang dikenal dengan perang Jamal. Lalu terjadinya perang Shifin antara pihak Muawiyah bin Abi Sufyan yang didukung oleh Amr bin Ash dan Pihak Ali bin Abi Thalib pada tahun 657. Beberapa tahun setelah itu di Padang "Karbala" terjadi "pembantaian" Hussein bin Ali beserta pengikutnya oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Dikatakan sebagai "pembantaian" sebab disamping jumlah pasukan yang tak seimbang, Kepala Hussein bin Ali pun dipenggal dan dipertontonkan kepada masyarakat


III. Sebab-Sebab Terjadinya Perpecahan
    

1. Pengetahuan Islam yang kurang (5:14)
    Perpecahan (tafarruq) terjadi karena ummat islam mengambil islam sepotong-sepotong. Satu kelompok menekankan dimensi ritual, dan melupakan dimensi sosial. Kelompok lain membesar-besarkan dimensi mistikal, dan mengabaikan dimensi ideologikal.

2. Kedengkian diantara sesama kaum Muslimin (42:14 jo 2:213; 3:19; 45:17)
   Prestasi suatu golongan lain - yang seharusnya mendorong golongan lain untuk juga berprestasi sama - malah menimbulkan iri pada golongan lainnya. Tidak jarang, ketika satu golongan Islam dizalimi, golongan lain berusaha mencari muka kepada pihak yang menzalimi. Pada tahap individual, sering mubaligh memfitnah mubaligh lain hanya karena persaingan popularitas. Penyebab kedengkian lainnya boleh jadi kedudukan, pangkat, atau kekayaan.

3. Tidak mau menggunakan akal (Al-Hasyr (59):14)
    Islam menempatkan akal pada posisi yang sangat penting, tetapi betapa seringnya akal dikesampingkan. Bukankah tidak logis orang mempertentangkan yang sunnah (seperti Shalat Tarawih) dan melakukan yang haram (seperti memutuskan silaturrahiim)? Bukankah tidak logis bersikapsangat keras terhadap kaum Muslimin dan sangat lembut terhadap orang kafir? Perbedaan pendapat akan selalu terjadi bila emosi dan bukan rasio - fanatisme golongan dan bukan akal sehat - dipakai untuk menyelesaikan perbedaan itu.

4. Kecintaan Pada Dunia (3:152)
    Ayat ini turun pada waktu perang Uhud, ketika sebagian shahabat melanggar perintah Rasul karena tertarik dengan barang ghanimah. Peristiwa yang sama sering terjadi dalam sejarah islam .

5. Tidak menyerahkan kepercayaan atau Kepemimpinan kepada kaum Muslimin lagi 
    (QS Hud (11 ):116)
    Perselisihan terjadi karena rahmat Alloh tidak diberikan. Perselisihan tidak akan terjadi pada orang-orang yang dirahmati (QS 9:71)

IV. Sikap Menghadapi Perpecahan
     

Namun demikian dalam menghadapi perpecahan (‘perbedaan’) ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Sepakat pada yang qathi, siap berbeda pada yang zhanni
    Hukum fiqih dibagi dalam 2 (dua) bagian besar, pertama berkenaan dengan pokok-pokok akidah, ibadah, dan muamallah yang disetujui bersama - apapunmazhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu’) dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturrahim
    Bila terjadi perbedaan faham atau penafsiran pada hal-hal yang zhanni, kita harus menguji perbedaan faham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarzih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap zhanni. Ditengah-tengah ummat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan ummat atau tidak mendatangkan mudharat (prinsip silaturrahim).

3. Ijtihad bagi ulama dan taqlid bagi awam.
    Membedakan mana yang qathi dan zhanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Al-qur’an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan :"Katakanlah apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan? (13:16) jo(Fathir : 19; 39:9; 58:11.)

V. Penutup
    Demikianlah sekilas tentang perpecahan dan sikap yang harus kita ambil. Pada bagian ini perkenankanlah saya bawakan hadits Rasululloh SAW mengenai doa permohonan Rasululloh kepada Alloh. Ake bermohon pada Tuhanku dengan tiga perkara, dua dikabulkan dan satu ditolek. Adapun yang dikabulkan adalah (1) agar ummatku jangan dibinasakan dengan musim kemarau dan (2) agar ummatku jangan dibinasakan oleh wabah penyakit. Sementara yang ditolak adalah (3) agar jangan ada pertikaian diantara ummatku.

*) Dari berbagai sumber

Monday 18 October 2010

“Kal an ‘am balhum Adhol”


Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS 7: 179)

----
Sedang dalam proses

Tetapi (diantara) kalian Memberontak lepas dari Tanganku

Perumpamaan diriku diantara kalian adalah bagaikan seorang laki-laki yang menyalakan api, lalu mulailah laron-laron dan serangga-serangga mengerumuni api. Sementara itu, laki-laki tersebut mencgat laron-laron dan serangga itu jangan sampai tercebur ke dalam api. Saya akan selalu menarik kalian dari belakang, jangan sampai kalian tercebur ke dalam api, TETAPI (DIANTARA) KALIAN MEMBERONTAK LEPAS DARI TANGANKU (HR Muslim dari Jabir ra)


--------------
Sedang dalam Proses ...

Stres..........

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS 59: 19)

Kehidupan seringkali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Harapan kita untuk hidup lebih layak dalam berbagai aspek kehidupan ternyata jauh dari yang kita bayangkan. Kemudahan-kemudahan yang kita dambakan dalam meniti perjalanan hidup ternyata tak kunjung diraih. Ketika itulah beban dipundak, fikiran dan hati seakan-akan bertambah berlipat-lipat yang membuat kita tidak mampu bersikap dan bertindak secara normal dan rasional yang pada akhirnya mempengaruhiseluruh sendi fisik dan psikis kita. Berbagai penyakit akan mudah hinggap dalam tubuh disebabkan kita sudah tidak fokus pada usaha yang harus terus dijalani, kita malah terus berkutat dengan bayang-bayang kegagalan demi kegagalan dan penyesalan demi penyesalan. Kita tidak pernah mau menerima kenyataan yang sedang dihadapi. Jadilah kita seakan-akan orang yang terpenjara yang tidak memiliki keleluasaan untuk bertindak. Penjara yang kita ciptakan itu akhirnya membuat diri terkapar tanpa daya. Melangkah salah, diam juga salah, berteriak salah.
Kebanyakan manusia ketika mendapatkan kesusahan dia berkeluh kesah (qs 70: 19-21). Hal seperti inilah yang menyebabkan seseorang tidak menyadari bahwa hidup memiliki berbagai kondisi, yang kesemuanya harus kita hadapi dengan kejernihan berfikir dan bertindak. Selaku manusia seyogyanyalah kita faham, bahwa apa yang kita usahakan tidak melulu harus berhasil. Ketidakberhasilan seharusnyalah menjadikan kita lebih teliti dan sungguh-sungguh lagi dalam mengusahakan apa yang kita harapkan. Dan tidak boleh terpenjara dengan kegagalan yang kita terima serta tidak boleh berfoya-foya manakala keberhasilan kita raih.
Kesenangan hidup yang diberikan Allah dalam berbagai aspeknya memang membuat manusia menjadi tinggi hati atau sombong. Merasa dirinya lebih dari orang lain, dan meremehkan. Manusia-manusia seperti inilah yang apabila mendapatkan kesusahan gampang terhinggapi stress, manusia yang hampir alpa untuk mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, merasa setiap hasil usahanya bukan karena kemurahan Allah tapi atas hasil usaha tangannya sendiri.
Manusia yang melupakan kemurahan Allah atas nikmat yang diterimanya, akhirnya tak punya gantungan yang kokoh ketika menghadapi kegagalan berbagai usaha yang dilakukannya. Sekuat apapun dirinya untuk bangkit tetap saja dia tak kuasa dan malah terus terkapar dalam kegagalan yang diciptakannya sendiri. Kemampuannya yang selama ini dibanggakan tak berarti sama sekali ketika berhadapan dengan kehendak Ilahi yang memang datang untuk memberi pelajaran padanya.dalam kondisi seperti itu, bukannya ia menyadari keterbatasan dirinya dihadapan takdir Yang Maha Kuasa, dia malah memaksakan terus dan terus kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Sampai pada saatnya dia bimbang dengan langkah-langkah yang dilakukannya. Akhirnya ia terpaku... melamun tanpa daya dan pada gilirannya kondisi tersebut mempengaruhi fisik dan psikisnya. Ia tak mampu memikul beban akibat dari kegagalannya. Ia merasa malu dengan orang-orang disekelilingnya. . Dan kalau sudah seperti itu apalagi kalau bukan Stress
Pelajaran hidup memang membutuhkan kearifan dalam menjalaninya. Kita sebagai insan beriman mesti mesyadari bahwa segala keberhasilan adalah atas kemurahan Allah kepada kita agar kita tetap selalu ingat pada-Nya. Dan bahwa kegagalan adalah pembelajaran diri agar kita bisa tampil lebih baik lagi dalam masa selanjutnya.
Ayat di atas (59: 19) cukuplah menjadi sandaran kita agar tidak sekalipun melupakan Allah dalam kondisi apapaun. Karena jika itu terjadi maka Allah pun akan melupakan diri kita, bahkan kitapun akan dilupakan oleh diri kita sendiri. Jadi Jangan SOMBONG dan jangan Gampang Putus Asa. (Draft Tuisan)

Cinta Rasul

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS 33:21)


Setiap pecinta tentu membutuhkan bukti cinta. Kalau kita mencintai seseorang misalnya, tentu kitapun butuh untuk membuktikan cinta kita padanya. Dengan jalan apa? Apakah bisa disebut cinta jika itu hanya bertepuk sebelah tangan? Atau apakah dianggap cinta bila orang yang kita cintai justru tidak mencintai atau bahkan membenci kita?

Tentu saja cinta akan bersemi manakala kedua pihak terjadi hubungan saling mencintai. Dengan demikian tidaklah dikatakan cinta bila itu hanya dari satu pihak saja. Seorang pecinta akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui keinginan dari orang yang dicintainya, agar cintanya senantiasa abadi. Dia akan berusaha semaksimal mungkin menghindari hal-hal yang justru dibenci oleh yang ia cintai. Begitulah cinta.

Begitupun dalam hal mencintai Nabi kita Muhammad SAW. Tentu tidaklah dikatakan cinta bila itu hanya datang dari diri kita sendiri apa lagi kita tidak pernah mau tahu dan mencari tahu apa yang disuka dan dibenci oleh Beliau. Kita hanya berteriak-teriak menyebut namanya tiap saat, tapi tak pernah sedikitpun memahami apa yang beliau harapkan dari bukti cinta kita padanya. Bahkan seringkali kita melakukan hal-hal yang dibenci beliau dan bahkan kita sering meninggalkan hal-hal yang beliau inginkan agar kita melaksanakannya.

Cinta kepada Rasul memang bukan sekedar menyebut-nyebut namanya dia membutuhkan bukti dari cinta. Bukti itu adalah mencintai beliau melebihi apa dan siapapun diantara makhluk-makhlukNya. Sabda beliau SAW.: "...Tidak sempurna iman seseorang, diantara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu bapaknya, anaknya dan manusia umumnya" (HR Bukhari dari Anas RA) QS 33:6

Itulah bukti cinta yang diinginkan Rasul kepada kita. Mengorbankan seluruh hidup dan kehidupan kita, mengorbankan seluruh apa yang kita sukai demi mendapatkan cinta Rasul. Tanpa itu cinta kita hanyalah bertepuk sebelah tangan.

Yang menjadi pertanyaan, REALISTISkah hal tersebut? hanya untuk mendapatkan cinta Rasul kita mesti mengorbankan semua yang kita miliki? Bagi pengusung HAM dan kebebasan yang tanpa batas hal tersebut jelas melanggar kaidah-kaidah kebebasan. Bagi mereka yang setengah-setenngah dalam beragamapun pasti mencibir sinis tentang pengorbanan tersebut. Demikian juga yang tidak mempercayai akan hari akhir, jelas mereka akan menolak bentuk pengorbanan seperti itu. Bahkan mungkin mereka menganggapnya sebagai bentuk penindasan terhadap harkat dan martabat serta kebebasan diri. Dan bahkan mereka mengatakan bahwa agama ternyata memang benar sebagai candu bagi masyarakat.

Tapi, marilah kita tengok apakah pengorbanan yang kita lakukan tersebut cukup realistis dengan apa yang telah dan akan dilakukan oleh Rasul kepada kita ummatnya.

Pertama, sepanjang kehidupan yang beliau jalankan beliau tak henti-hentinya mengangkat harkat dan martabat manusia dari kegelapan kepada cahaya Ilahi. Beliau ajarkan seluruh kebaikan yang bermanfaat bagi manusia dan beliau dengan keras dan lantang mencegah manusia dari melakukan hal-hal yang tidak baik bagi kehidupan itu sendiri (QS 7: 157). Beliaupun melakukan persamaan kedudukan diantara sahabat-sahabatnya yang sebelum diutusnya banyak terjadi penindasan oleh kaum yang berpunya dan berkedudukan terhadap kaum papa. Dan beliau tidak pernah meninggikan seseorang/ kaum kecuali berdasarkan ketaqwaannya.

Kedua, menjelang wafatnya beliau masih memikirkan ummatnya (kita) dengan mengucapkan "Ummati...Ummati". Itulah beliau seorang yang telah ditakdirkan syurga untuknya tetap memikirkan kita ummatnya. Sementara kita semasa hidup yang kita jalani jauh dari ajaran-ajarannya, dan bahkan menentang dan mencemooh habis-habisan ajaran tersebut. Dan tak jarang diantara kita lari menjauh dan merasa jijik dan malu mengamalkan ajarannya.

Ketiga, seperti kita ketahui bahwa semua manusia memiliki kesalahan dan dosa. Dan diakhirat nanti semua itu akan diperlihatkan kepada kita, sehingga kita akan tahu dari hasil tersebut dimana kita akan ditempatkan. Neraka atau Surga. Dan di hari itu semua manusia tak terkecuali membutuhkan pertolongan Allah SWT agar selamat. Ditengah kegundahan setiap manusia akan keselamatan dirinya mereka mencari dan terus mencari seseorang (Nabi) yang mampu menyelamatkan mereka, namun tak ada yang mampu melakukan semua itu kecuali Nabi Muhammad SAW. Kenapa hanya Nabi Muhammad SAW saja yang mampu memenuhi kebutuhan itu? Jawabannya adalah seperti yang beliau sabdakan berikut ini. "Setiap nabi memiliki doa yang selalu diucapkan. Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat". (HR Muslim dari Abu Hurairah ra)

Ya, itulah SYAFAAT, doa yang disimpan oleh Nabi kita untuk Ummatnya kelak di yaumil akhir. Dengan syafaatlah kita akan selamat di akhirat nanti.

Pertanyaan yang perlu kita patri di dalam hati kita adalah. Seberapa besar cinta dan pengorbanan kita kepada Rasulullah SAW agar kita mendapatkan syafaatnya?

(Draft Tulisan) 040410 00:00