muhasuh

muhasuh
situgintung

Thursday 2 December 2010

Jangan Pandang Mereka dengan Sebelah Mata

Hadits Nabi:
“Abul Abbas (sahl) bin Sa’ad as Sa’dy ra berkata: Ketika Rasululloh SAW sedang duduk, tiba-tiba ada orang yang lewat didepannya, lalu Rasululloh SAW bertanya kepada orang yang berada disebelahnya, Bagaimanakah pendapatmu tentang orang ini? Jawabnya, “Ia adalah seorang bangsawan. Demi Allah, sungguh layak apabila ia meminang akan diterima, dan apabila ia membantu memintakan sesuatu untuk orang lain pasti akan diterima.” Rasululloh SAW pun diam. Kemudian lewat orang yang lain. Rasululloh SAW bertanya lagi kepada shahabat yang berada disebelahnya. “Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” Jawabnya, kalau ia meminang tidak diterima dan kalau ia menolong memintakan sesuatu untuk orang lain tidak diterima”. Maka bersabda Rasululloh SAW. “Orang ini (yang kedua) lebih baik sepenuh bumi daripada orang yang tadi itu (pertama)” (HR Bukhari Muslim H99 KC).


_________________________________________________________________

Semakin hari kehidupan semakin materialistis dan individualistis! Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin kata bang Haji Oma Irama dalam salah satu syair lagunya. Fenomana tersebut berlanjut pada cara pandang terhadap manusia yang ada disekitarnya. Sikap melecehkan terhadap si miskin seringkali dipertontonkan dalam kehidupan sehari-hari. Si kaya makin pongah dan merasa sebagai Raja yang harus dilayani. Si miskin makin terjepit dan terpinggirkan dan harus rela menjadi permainan hidup dan pelayan si kaya.

Sudut pandang demikian dalam kaca mata masyarakat yang materialistis adalah suatu kewajaran, karena memang penghargaan terhadap orang lain didasarkan pada pangkat, harta, dan jabatan seseorang bukan pada kebagusan akhlaknya.

Lihatlah kehidupan yang kita jalani diberbagai bidang menerapkan standar ini, dari desa hingga kota, dan dari rakyat kecil sampai pemimpin negara yang menyebabkan si miskin semakin menjerit, sementara sikaya berpesta pora. Itulah apabila harta dan kedudukan menjadi porsi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bersikap terhadap sesama..

Marilah kita tengok sejenak kondisi yang terjadi di negara kita perihal beberapa perlakuan terhadap kaum lemah. Misalnya, dalam usaha memperoleh modal pinjaman, rakyat kecil dipersulit, padahal yang dibutuhkan tidak seberapa jumlahnya, sementara mereka yang bermodal dan berkedudukan dengan mudahnya memperoleh pinjaman bahkan tanpa agunan sekalipun dengan jumlah yang amat njomplang dibandingkan dengan si kecil. Dalam hal memperoleh hak sehatpun si kecil yang tak berduit dipersulit. Pihak pelayan kesahatan mensyaratkan uang jaminan yang seringkali tak terjangkau oleh si kecil. Jadilah si kecil tersandera dan makin jauh untuk menjadi aset bagi bangsa yang amat dicintainya. Bunga Trotoarpun tidak luput dari penertiban, dikejar-kejar, diambil barang dagangannya, padahal mereka telah membantu negaranya mengurangi pengangguran, hanya karena dianggap mengganggu keindahan kota. Buruh-buruh pabrik dan sejenisnya tak kalah melasnya dengan kondisi di atas. Diperas tenaganya sementara gajinya dibawah upah minimum bahkan jauh dari rekan-rekannya di negara lain, alasan penguasa khawatir pemodal lari ke luar negeri (?), bahkan seringkali pembayarannyapun tertunda. TKI, yang jelas-jelas menjadi pahlawan devisa bagi negara ini terabaikan. Perlakuan buruk majikan-majikan mereka tidak segera ditindaklanjuti, menunggu respon masyarat luas. Tidak seperti negara-negara lain yang pemimpinnya langsung turun tangan menangani kasus pahlawan devisa. Sisi hukumpun tak kalah sengitnya. Kasus “nenek Rusminah” dan yang lainnya membuat kita mengurut dada, hanya masalah sepele yang belum jelas kepastian hukumya sudah langsung dipenjarakan sampai berbulan-bulan. Sementara mereka yang memiliki “kekuatan”, koruptor, penggede kasusnya berjalan alot dan bahkan andaikan dihukumpun, hukumannya tak sebanding dengan kejahatannya.

Begitulah nasib kelam si miskin senantiasa terzalimi yang hanya untuk memperoleh bahagian kue pembangunan pun harus disisihkan dan dipinggirkan. Sementara si kaya sibuk menghitung-hitung keuntungan yang akan didapatkan dengan melupakan bahagian si miskin (QS 68: 17-33). Ditambah lagi hampir tidak ada yang mau memperhatikannya kecuali Pemilik hidup dan kehidupan itu sendiri.

Islam mengajarkan kita, agar tidak memandang remeh dan mempermainkan rakyat kecil. Karena mereka ada pada hekekatnya sebagai batu ujian bagi mereka yang berpunya. Peduli atau tidak. Bagi yang peduli terhadap mereka berarti telah menjalankan dan memahami perintah agama dan bagi yang tidak peduli mereka termasuk ke dalam golongan pendusta agama (QS 107: 1-7).

Lihatlah apa yang dikatakan Nabi perihal mereka yang (di)terzalimi, beliau mengatakan “Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini”. (HR. Bukhari) yang menunjukkan kedekatan beliau pada orang-orang kecil. Yang sebenarnya telunjuk itu mengarah kepada siapapun untuk sangat peduli terhadap kehidupan mereka bukan malah menyipitkan mata. Beliau amat peduli terhadap kelangsungan hidup mereka, bahkan beliau rela hidup seperti manusia kebanyakan itu walaupun beliau sanggup hidup melebihi para Kaisar dan para Raja. Perhatian beliau yang amat tinggi terhadap kaum lemah itu diwujudkan dalam praktek hidup beliau bukan sekedar basa-basi yang hari ini ditampilkan oleh para penggede. Beliau tegur para shahabat yang berbuat zalim terhadap mereka, beliau datangi dan santuni serta mencukupi kebutuhan mereka. Bahkan beliaupun memperingatkan kita agar berhati-hati terhadap doa yang mereka panjatkan.“..Dan takutlah engkau dari doa orang yang dizalimi, karena doa itu tidak ada sekat dengan Allah Taala. (Shahih Muslim No.27)

Tak heran sepeninggal beliau, kebiasaan menyantuni para fakir miskin dan orang-orang kecil dilanjutkan oleh para Khalifah Islam. Para khalifah faham, bahwa dengan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan mereka keberkahan akan senantiasa melingkupi pemerintahan. Beda dengan Negara kita, walaupun dalam UUD secara tegas disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara Negara”, mereka justru terabaikan dan tersingkirkan. Maka wajar saja bila keberkahan jauh dari negeri yang mayoritasnya ummat Islam ini. Bisa saja salah satu sebab musibah demi musibah saling berimpit di negeri kita akibat rintihan mereka yang didengar Sang Maha Pendengar.

Perhatikanlah hadits di atas pada awal tulisan ini, yang berisi pengajaran secara langsung dari Nabi kita akan hakekat kehidupan sesungguhnya. Beliau mengajarkan agar kita jangan terpengaruh oleh bentuk fisik dan materi serta atribut-atribut lainnya yang menempel pada diri seseorang. Jadi............

Draft Tulisan 011210

Ref: Hadits Web, Qur’an digital 2.0

Tuesday 30 November 2010

Hijrah (Bag 1)

“...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...” (QS 13:11)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : Muhamad Suharto

“Hijrah” dalam pandangan ummat islam merupakan sesuatu yang teramat penting dan tak mungkin untuk dilupakan, sebab ia merupakan titik awal perjuangan ummat dalam menegakkan nilai nilai tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari kota Makkah yang telah penuh dengan fitnah, intimidasi, kekerasan, pemboikotan, pengusiran, pembunuhan dan rencana pembunuhan terhadap Nabi SAW dan sepertinya tak ada ruang untuk bernafas bagi ummat Tauhid ini, maka Allah memerintahkan Nabinya untuk berhijrah ke kota Madinah yang penuh dengan harapan dan masa depan yang dijanjikan. Kedudukan kota Madinah sebagai kota yang penuh harapan tersebut, tidak serta merta terjadi melainkan melalui proses yang panjang yang dilakukan Nabi di kota Mekah melalui beberapa pertemuan dengan perwakilan masyarakat Medinah yang dikenal dengan Aqabah I dan Aqabah 2.

Dan dari proses Hijrah tersebutlah masyarakat Islam yang rahmatan lil alamin yang membawa “peradaban wahyu” yang menyibghoh (mewarnai) diri (pemerintahan) dengan shibghoh Ilahi dan yang memiliki “Izzah” (kewibawaan) terbentuk. Maka tak heran setiap datangnya tahun baru hijriah, sebagian besar ummat Islam senantiasa memperingatinya, dengan berbagai macam bentuk, baik yang berada dipelosok-pelosok kampung sampai ke perkotaan bahkan senantiasa diperingati dalam skala nasional (kenegaraan). Peringatan ini tidak lain dimaksudkan agar ummat kembali termotivasi untuk melakukan serangkaian perubahan yang mendasar dalam diri ummat itu sendiri agar terhindar dari intervensi dan “penjara” atau kungkungan kegelapan yang “sengaja’ diciptakan baik oleh ummat itu sendiri ataupun “pihak-pihak” yang tidak menghendaki bangkitnya kembali ummat Islam dalam percaturan kehidupan dunia. “Intervensi” dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai asing ke dalam nilai-nila Ilahi,dengan maksud menyingkirkannya/ meminggirkannya, sehingga nilai Ilahi bukan lagi menjadi pegangan bagi ummat dalam meniti kehidupannya. Sementara itu “Penjara” dibuat agar ummat tidak dapat bergerak bebas dalam menjalankan perintah-perintah Ilahi. Hal ini dilakukan dengan menyibukkan dan membiarkan serta memberi ruang yang lebar kepada ummat dengan hanya “pendekatan vertikal” saja, dan menjauhkannya dari percaturan perpolitikkan dan kehidupan sosial. Sementara kungkungan kegelapan dilakukan dengan jalan menciptakan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC) ditengah-tengah ummat, sehingga ummat buta dan membabibuta pada hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam. Jadilah ummat terbuai terus menerus dengan mimpi indah kejayaan masa lampau dan anggapan keusangan ajarannya.

Namun peringatan tinggalah peringatan, ia hanya sebatas seremonial belaka yang dikumandangkan dimimbar-mimbar tanpa aksi melakukan proses menuju hijrah itu sendiri. Maka jadilah peringatan-peringatan hijrah yang diselenggarakan setiap tahun sepertinya hambar dan sekedar basa basi serta hanya bernostalgia akan keberhasilan masa lalu. Dan kalau hanya sampai pada kondisi seperti itu, maka peringatan hijrah pastinya tidak akan mampu mengangkat “harkat dan martabat” ummat dalam kehidupan di dunia sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh generasi awal ummat. Ummat islam tetap saja hidup dalam tekanan dan “tertekan”, sekalipun ia hidup di dalam sebuah wilayah yang “mayoritas” beragama islam. Ummat bagaikan ikan yang dipaksa hidup di darat dengan tetesan air. Menggelepar, mati tidak, hidupun tidak.

Tengoklah kehidupan yang dihadapi oleh ummat dibelahan bumi manapun, ummat hampir TIDAK memiliki harga diri ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Lihatlah misalnya Bumi Palestina yang terus bergolak dan menjadi tempat “latihan tempur” Zionis Israel. Mereka dibiarkan sendiri menghadapi satu kekuatan yang memiliki persenjataan dan dana yang tak terhingga. Sementara itu pemimpin-pemimpin Islam yang seharusnya membantu mereka diam seribu bahasa bahkan seringkali kongkalikong” dengan bangsa penjajah.

Dengan kondisi seperti itu membuat bangsa-bangsa lain makin berani dan berulah, menekan dan mengontrol kehidupan ummat ini. Mereka bebas mempersepsikan ummat dengan persepsi mereka sendiri, maka muncullah sentimen-sentimen negatif dan kontrol penuh pada kehidupan ummat.

Dalam kaitannya dengan sentimen negatif misalnya, tekanan yang dilakukan adalah dengan memandang sinis kepada setiap pemeluk islam. Pemeluk islam dianggap sebagai ancaman atas eksistensi mereka, atau setiap pemeluk islam adalah potensi pencipta terror di masyarakat dan sekaligus “makanan” empuk untuk dibantai tanpa ada yang peduli sedikitpun. Kenyataan ini terlihat dari pandangan-pandangan “dunia” terhadap islam. Cap teroris misalnya, hanya dilekatkan kepada pemeluk islam,dan kita tidak pernah mendengar adanya teroris Budha, teroris katolik, teroris protestan, teroris hindu, teroris shinto dan lain-lainnya. Bahkan ummat yang sedang mengusahakan kemerdekaan dari penjajahan bangsanyapun dicap sebagai teroris atau ummat yang sedang mengusir penjajah dari negerinya yang berdaulat tetap saja di cap sebagai teroris. Sementara mereka yang mengagresi negeri dan membantai “umat” islam dan bahkan melakukan teror di dalam negeri ummat islam tidak pernah dicap sebagai teroris. Atau misalnya penindasan terhadap suatu kaum yang bukan ummat islam yang terjadi puluhan tahun silam, sampai hari ini pelakunya terus dikejar dan dicap sebagai penjahat perang. Sementara perlakuan yang amat bengis bangsa Spanyol terhadap ummat Islam, yang kebengisannya melebihi kekejaman manapun manusia di dunia ini dibiarkan berlalu. Atau yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus Bosnia.

Sementara itu tekanan yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih “ganas” lagi. Ummat seakan “dipaksa” untuk menjauhi segala sesuatu yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi. Produk-produk budaya yang tidak sesuai bahkan dengan nilai lokal sekalipun terpaksa harus ditelan mentah-mentah, sebab produk-produk tersebut memang dipaksa melenggang masuk ke rumah-rumah ummat, bahkan sampai ke tempat yang pribadi sekalipun. Umat tidak memiliki saringan sebab ummat sudah terbebani oleh kebutuhan-kebutuhan duniawi yang makin hari makin menohok mereka. Lebih-lebih generasi muda dari ummat, generasi yang diharapkan mampu membawa beban kini malah menjadi beban itu sendiri, mereka sudah terbius tanpa daya oleh kesenangan-kesenangan sesaat. “Pergaulan bebas” sudah dikenal oleh mereka dari tingkatan pendidikan yang terendah sampai perguruan tinggi. Tengoklah acara-acara sinetron kita, exploitasi terhadap kaum muda begitu merajalela, padahal kebiasaan mereka menjadi contoh bagi sebagian besar kaum muda diseluruh pelosok.

Dengan kondisi tersebut, berat rasanya bagi umat untuk dapat bengkit dari keterpurukan, dan dari mimpi yang tengah membuai dirinya dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.

Untuk itulah dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik, ummat harus meyakini bahwa perubahan PASTI terjadi manakala mau mengubah sikap dan prilaku ke arah yang lebih baik (QS 13:11)

Dan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat kita lakukan manakala kita menyadari bahwa perubahan tersebut dapat terjadi bila kita memiliki semangat, tekad dan komitmen serta Flatform ke arah perubahan itu sendiri. Dengan kata lain kita harus merekonstruksi mimpi “HIJRAH”. Dari sekedar bangga akan masa lalu menjadi tahap-tahap dalam melakukan perubahan, yang dimulai dari diri sendiri.

Semangat, tekad dan komitmen itu adalah kembali (hijrah) secara total kepada “Nilai-nilai Qur’an” (“Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”) dan “Hikmah” (“Sungguh telah ada pada diri Rasululloh itu contoh yang terbaik bagimu”) yang selama ini kita lupakan sebagai suatu Flatform. Keduanya harus menjadi rujukan dan pijakan dalam menjawab fenomena yang ada yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bila kita ingin bangkit dari keterpurukan dan mimpi-mimpi disiang bolong dan meraih “izzah”. Dengan Al-Qur’an ummat akan terhindar dari tipu daya dan akan berlaku adil sebab ia memberikan petunjuk yang PASTI bukan abu-abu. Dan dengan “hikmah” ummat dapat becermin dalam menata bangunan-bangunan wahyu yang akan diwujudkannya. Dan bangkitnya umat dengan Qur’an dan Sunnah memiliki arti penting bagi tatanan kehidupan dunia, yaitu mengembalikan tatanan aturan pergaulan yang sejati, sebab ummat akan bersikap mengayomi negara miskin dan kecil secara adil, menghapus perbudakan modern dan intimidasi yang saat ini dipamerkan oleh “Hansip Dunia” (Baca: AS). Membawa kemakmuran yang selama ini di rampok dan dihisap oleh “Hansip Dunia” dan kroni-kroninya.

Kondisi seperti itu baru akan terwujud manakala ummat menyadari bahwa dunia membutuhkan mereka. Sehingga mereka merasa terpanggil dan berusaha sekuat tenaga untuk “berhijrah” dan menyibghah diri dengan shibgah Ilahi (QS 2: 138). Keterpanggilan ummat menjadi hal yang sangat utama, sebab hari ini penguasa dunia tidak mampu memberikan perlindungan, keadilan dan kemakmuran bagi penduduk dunia. Mereka asyik memperkaya diri sendiri dan membiarkan negera-negara miskin bergantung dan dihisap sumberdaya yang mereka miliki. Amerika dan sekutu-sekutunya tidak pantas dan tidak mampu menjadi “Khalifah Fil Ardh”, karena ia lebih mementingkan masyarakatnya sendiri. Keadilan hanya untuk bangsanya, demokrasi hanya untuk bangsanya, dan segala sesuatu hanya untuk bangsanya bukan untuk kemashlahatan dunia dan isinya.

(Bersambung)

Wednesday 10 November 2010

Loyalitas dan Komitmen Muslim

Oleh : Muhamad Suharto
I. DEFINISI MUSLIM

I.1. Siapakah Muslim Itu?


Dewasa ini ummat islam di Indonesia merupakan mayoritas dibandingkan dengan jumlah penganut/ummat lainnya. Hal ini terlihat dalam sensus penduduk yang telah dilakukan berkali-kali terakhir tahun 2010 dengan prosentase di atas 85%. Dengan jumlah yang cukup besar itu semestinya nilai-nilai keislaman mampu mewarnai kehidupan/aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan ummat Islam pada khususnya. Namun hal ini tidak dapat terlaksana, sebab meskipun ummat islam mayoritas dalam kuantitas tapi ummat Islam juga merupakan minoritas dalam kualitas. Maksud dari minoritas dalam kualitas adalah banyaknya ummat islam yang tidak mengerti (tidak mau tahu) tentang islam itu sendiri. Kondisi ini diperburuk dengan sikap sebagian besar ummat islam yang merasa bahwa mereka adalah seorang islam dikarenakan nama dan keturunan yang disandangnya.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini maka wajarlah bila -nilai-nilai ilahiyah tidak terwujud dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat islam pada khususnya.


Melihat situasi diatas timbul satu pertanyaan tentang definisi seorang muslim. Apakah seseorang dianggap sebagai muslim hanya dengan menyandang nama dan keturunan islam?


Islam Tidak Ditentukan Oleh Nama dan Keturunan
Apakah benar ungkapan di atas bahwa untuk menjadi muslim cukup dengan hanya menyandang nama atau keturunan islam saja? Tentunya tidak. Untuk menjadi seorang muslim tidaklah ditentukan oleh nama yang disandangnya atau karena ia keturunan dari seorang tokoh islam, tapi untuk menjadi seorang islam ia harus menyerahkan seluruh kehidupannya hanya pada Alloh semata. Boleh-boleh saja seseorang yang karena namanya menyandang nama islam atau keturunannya merupakan tokoh islam lalu mengklaim bahwa dirinya sebagai seorang islam. Contoh kasus diatas telah ada pada pentas sejarah Islam itu sendiri. Sebagai contoh anak seorang Nabi Nuh dinyatakan oleh Alloh bukanlah sebagai orang islam karena ia tidak mau tunduk pada ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Dan betapa banyaknya orang yang memakai nama islam ternyata dalam kesehariannya "alergi" terhadap islam. Kalau anak seorang Nabi saja tidak diakui keberadaannya dalam islam, bagaimana dengan kita yang pada kenyataannya hanyalah seorang manusia biasa?


Untuk menjadi seorang muslim, maka "seseorang" harus membuktikannya dalam tindakan kesehariannya. Bila seseorang dalam aktifitas kesehariannya tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Alloh, maka pada hakekatnya orang tersebut belum dapat dikatakan sebagai muslim.


1.2. Komitmen Muslim Terhadap Islam


Pada bahasan diatas, tampak bahwa predikat seorang muslim tidaklah ditentukan oleh nama dan keturunannya melainkan ditentukan oleh aktivitas kesehariannya selaku seorang muslim. Aktivitas-aktivitas itu merupakan komitmen dirinya sebagai seorang muslim bagi agamanya.


Mengimani Islam
Setiap diri muslim wajib mengimani (meyakini) kesempurnaan dan kemutlakan kebenaran Islam sebagai suatu sistem hidup, sebagai satu kebulatan ajaran yang universil dan eternal, kemudian mereka istiqomah dalam iman dan keyakinannya itu serta senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan mutu iman - keyakinannya itu.(Qs 4:136)


Memahami Islam
Setiap diri muslim wajib memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan (pengertian, pemahaman, penghayatan, dan penguasaan) tentang Islam dalam segala jenisnya sesuai dengan kemampuannya, pada setiap kesempatan, dan terus menerus.


Hadits Nabi : "Barangsiapa yang dikehendaki Alloh kebikan maka dia difahamkan tentang Agama" (lihat juga QS.6:125; 38:22;9:122)


Mengamalkan Islam
Setiap diri muslim wajib memanfaatkan iman keyakinannya dan ilmu pengetahuan tentang islam dalam amal perbuatannya sehari-hari, dalam pelbagai segi kehidupan dan penghidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuannya masing-masing dengan jalan merealisasikan islam dalam dirinya, lingkungannya.


Menyebarkan Islam
Setiap diri muslim wajib menyebarkan islam sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya masing-masing kepada orang lain, baik islam maupun orang-orang yang tidak atau belum beragama islam.


Hadits Nabi : "Sampaikanlah apa-apa dariku walaupun satu ayat" (lihat juga QS(5:67; 3:110)


S h a b a r
Setiap diri muslim wajib bershabar menerima segala resiko sebagai konsekwensi pernyataan sikapnya tersebut.



III JAMAAH BAGI SEORANG MUSLIM


Dari uraian di atas terlihat bahwa untuk merealisasikan nilai-nilai Islam ketengah-tengah masyarakat dibutuhkan kesiapan pribadi sebagai seorang muslim. Yang dengan kesiapan itulah maka ia akan mampu sedikit-demi sedikit menebarkan rahmat Alloh dimuka bumi ini.


Namun demikian perjuangan untuk menebarkan rahmat Alloh yang dilakukan hanya dengan perseorangan terasa sulit dilaksanakan, karena pada akhirnya nanti objek dakwah haruslah mempunyai wadah untuk tempat saling "tegur dan sapa".


Disamping itu ada hal yang lebih penting lagi disamping kesiapan pribadi tersebut yaitu kordinasi antara individu-individu muslim dalam merealisaikan nilai-nilai ketengah-tengah masyarakat. Koordinasi antar individu inilah yang dalam islam dikenal dengan istilah "JAMAAH/UMMAH"


3.1 Definisi Jamaah/Ummah
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jamaah, berikut akan diuraikan tentang makna jamaah/ummah ditinjau menurut Al-Qur'an dan menurut istilah.


Definisi Jamaah/Ummah menurut Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an QS.3:103 Alloh berfirman : "Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Alloh (Al-Islam) secara berjamaah dan janganlah kamu bercerai berai".


Pada ayat ini Alloh dengan gamblang memerintahkan pada setiap diri muslim agar dalam merealisasikan kehendak-kehendaknya haruslah saling berkoordinasi satu sama lain dalam wadah atau Jamaah/Ummah, dan Alloh melarang setiap diri yang mengaku muslim berada diluar jalur koordinasi sesama muslim (Jamaah/Ummah).


Definisi Jamaah/Ummah Menurut Istilah
Ali Syariati dalam bukunya "Ummah dan Imamah" mendefinisikan ummah/ jamaah sebagai suatu kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama yang satu sama lain saling bahu membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif. Sementara itu dalam buku "Tauhid", Ismail Raji' Al-Faruqi mendefinisikan "Ummah/Jamaah" sebagai suatu masyarakat universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnisitas/komunitas yang paling luas, tetapi yangg komitmennya terhadap islam mengikat mereka dalam tata sosial yang specifik.


Dari 2 (dua) definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jamaah adalah kumpulan orang-orang beriman yang terikat pada tujuan dan cita-cita memperjuangkan dan membumikan Al-Qur'an di mayapada ini. 3.2 Urgensi Jamaah/Ummah Bagi Muslim

Ditinjau dari dua definisi di atas, terlihat betapa pentingnya "kehadiran" sebuah wadah koordinasi bagi seorang muslim dalam rangka menyamakan gerak dan langkah untuk menebarkan rahmat-rahmat Alloh bagi segenap alam semesta. Lalu apakah urgensinya sebuah jamaah bagi seorang muslim?


Tidak Ada Islam Tanpa Ummah/Jamaah
Alloh berfirman "Hendaklah terwujud dari kalian, suatu ummat yang menyeru pada kebajikan, yang menyuruh berbuat kebaikan dan melarang kejahatan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS.3:104). Lihat juga QS 9:71; 5:3,79


Dari ayat di atas jelaslah bahwa ummat islam diperintah untuk membentuk diri mereka menjadi ummah, yaitu suatu pertubuhan sosial yang diorganisir.


Nabi SAW menggariskan, "Tidak boleh bagi tiga orang Muslim untuk berada di suatu tempat tanpa mengangkat salah seorang diantara mereka untuk menjadi pimpinan".


Hal ini dikarenakan bahwa tujuan orang-orang Muslim adalah melaksanakan ibadah, menjalankan ketentuan-ketentuan Ilahi, merealisasikan keadilan, melaksanakan hudud, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti, maka tidak ada jalan lain kecuali membentuk diri mereka menjadi ummah, suatu masyarakat organis yang memiliki imarah, atau pemerintahan.


Dengan demikian tanpa adanya sebuah pertubuhan sosial (Ummah/Jamaah) maka nilai-nilai Ilahiyah tidak akan dapat dibumikan ketengah-tengah masyarakat. Ini dapat berarti bahwa Islam tidak pernah akan ada tanpa adanya manusia-manusia yang mau menjalankan Islam itu sendiri

Thursday 4 November 2010

Kepala Keluarga dan Tanggungjawabnya

 
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...." (QS 4: 34)


 
Hidup berkeluarga menyebabkan kita berusaha sekuat daya dalam memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Untuk itu apapun kita lakukan, rasa lelah kita lawan dengan sekuat tenaga kita, berangkat pagi pulang hampir pagi atau kaki jadi kepala - kepala jadi kaki, asalkan semua itu mampu menopang keberlangsungan rumah tangga kita. Waktu-waktu istirahat (tidur) dan bangun pun kita atur sedemikian rupa agar kita tidak terlambat dalam menggapai rezeki yang kita harapkan atau agar kita tidak mendapat teguran dari kantor kita. Dan bila tiba waktu libur, maka kitapun berusaha untuk membahagiakan keluarga dengan berkumpul bersama atau bersilaturrahmi dengan sanaksaudara/ teman dan bahkan kita menyisihkan waktu untuk berwisata menghilangkan kejenuhan ditempat kerja.

Sebagai kepala keluarga (pemimpin) seperti yang diungkap dalam Surat An-Nisa : 34 tersebut di atas, suami memegang peranan yang sentral dalam rumah tangga. Dia menjadi nahkoda untuk mengarahkan bahtera sampai ke pulau harapan. Bukan hanya itu diapun harus mampu berperan memberikan kenyamanan dan ketenangan manakala bahtera yang menuju pulau harapan dilamun ombak. Diapun harus mampu menyelamatkan dan berkorban demi keselamatan seisi bahtera terlebih dahulu daripada dirinya sendiri. Dengan ungkapan seperti itu, maka wajarlah bila Islam memberikan keistimewaan kepada seorang kepala keluarga.

Keistimewaan yang diberikan tidak serta merta menjadikan seorang suami bebas untuk melakukan apa saja yang dia sukai tanpa kontrol. Kontrol yang dimaksud adalah keseimbangan antara keistimewaan yang diberikan dengan tanggungjawab dirinya sebagai seorang suami. Untuk itu islam memberikan dipundak para suami beban tanggungjawab yang tidak ringan yaitu menjaga dan mengantarkan dirinya dan seluruh keluarganya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Beban tanggungjawab inilah yang mesti difahami oleh siapapun yang ada dalam bahtera sehingga tujuan mencapai pulau harapan bukan hanya sekedar fatamorgana.

Ada 3 (tiga) hal (minimal - menurut saya) tanggungjawab seorang suami kepada keluarganya untuk mencapai pulau harapan, yaitu: pertama, memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, kedua memberi rasa aman dan nyaman, ketiga memenuhi kebutuhan ruhani diri dan keluarga.

1. Memenuhi kebutuhan materi
   
    Memenuhi kebutuhan materi merupakan salah satu kewajiban yang melekat dalam diri kepala keluarga, seperti yang telah diuraikan dalam pendahuluan tulisan ini. Islam mengajarkan kepada para kepala keluarga agar memenuhi kebutuhan ini. "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf..." (QS 2: 233) dengan cara apapun yang penting halalan thoyibah. Nabi SAW bersabda: "Sungguh salah seorang kalian mengambil beberapa utas tali lalu ia pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memebrinya maupun tidak" (HR Bukhari)

2. Memberi rasa aman dan nyaman serta kasih sayang

    Salah satu tujuan dari berumah tangga adalah terciptanya rasa aman dan nyaman. Maka tugas kepala rumah tanggalah untuk mengusahakannya. Kepala keluarga tidak boleh mengabaikan kebutuhan ini dengan alasan apapun termasuk kesibukan memenuhi kebutuhan keluarganya. Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya" (HR Tirmidzi - Hasan shahih). Ditangan kepala keluarga yang memiliki akhlak yang baiklah akan terwujud rasa aman dalam rumah tangga. "...Dan pergaulilah wanita (istri) itu dengan cara yang ma’ruf..." qs 4: 19)

3. Memenuhi kebutuhan Ruhani

   yang dimaksud adalah meluruskan segala macam aktifitas/ kebutuhan yang kita lakukan hanya untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. (QS 51:56)

Kebutuhan akan hal ini seringkali ter(di)abaikan oleh kepala keluarga. Padahal tugas ini merupakan kewajiban paling hakiki bagi seorang kepala keluarga. Bila dalam hal memenuhi 2 (dua) kebutuhan sebelumnya kita biasa ngotot, pantang menyerah dan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya, maka dalam memenuhi kebutuhan yang satu ini sering kali kita lakukan dengan seadanya, apa adanya atau sekedarnya saja. Kita tidak begitu ngotot, mudah menyerah dan terkadang sambil bermain-main. Padahal dengan memenuhi kebutuhan ini akan menunjukkan bukti cinta kita yang sejati terhadap orang-orang yang kita cintai (keluarga) dan dengan memenuhi kebutuhan inilah tanggunngjawab kita sebagai kepala keluarga teruji lahir dan batin.

Bukti cinta yang dimaksud adalah bahwa sebagai seorang yang memiliki keimanan kepada Allah, yakin akan pertanggungjawaban dari apa yang kita lakukan didunia ini setelah mati. Sehingga akan memunculkan banyak pertanyaan didalam benak kita, antara lain; Bekal apa yang kita miliki dan bekal yang bagaimana yang akan kita bawa kehadapan Robb kita? Apakah kita sebagai kepala keluarga sudah melakukan penyelamatan untuk diri dan keluarga kita?

Ayat berikut (mungkin) dapat menyadarkan kita untuk dapat membuktikan cinta kita kepada keluarga kita. "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (QS At-Tahrim (66): 6)

Bila kita perhatikan ayat di atas, terlihat bahwa Allah memberikan tanggung jawab penuh kepada kepala keluarga untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Tidak hanya informasi sebatas itu, bahkan Allah memberikan informasi lebih luas lagi tentang bahan bakar neraka dan sifat-sifat penjaga neraka sekaligus. Hal ini tentunya menjadishock theraphy bagi kepala keluarga agar jangan main-main terhadap tugas dan tanggungjawabnya.

Semoga Allah memberikan kepada kita kekuatan lahir dan batin untuk dapat berperan aktif dan penuh dalam menjalankan fungsi rumah tangga. Amin ya Robbal alamin
(Draft Tulisan)
Referensi
Al-Qur’an Digital 2.0
Riyadhus shalihin - Akbar Press sept 2009

Tuesday 19 October 2010

MEMAHAMI MAKSUD SUATU HADITS


MEMAHAMI MAKSUD SUATU HADITS SEBUAH REORIENTASI PEMIKIRAN UMMAT UNTUK AKSI
(Hadits Pertama) 


PENDAHULUAN
Dalam pandangan ummat islam, hadits mempunyai kedudukan yang teramat penting. Ia merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Sebagai salah satu sumber hukum, hadits Nabi banyak dipakai sebagai legalisasi terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh ummat. Hal ini dimungkinkan karena Al-Qur'an tidak selamanya secara rinci memberikan putusan akhir bagi suatu permasalahan. Dalam posisi seperti inilah peran hadits amat dibutuhkan sebagai penjelas dari maksud Al-Qur'an tersebut. Namun demikian masih banyak diantara ummat islam yang kurang mampu menempatkan hadits secara proporsional. Kekurangmampuan dalam menempatkan hadits secara proporsional menyebabkan hadits nabi kehilangan elastisitas makna yang dikandungnya. Dengan kehilangan elastisitasnya, hadits nabi menjadi kering tak bernyawa. Kekeringan makna yang dimaksud adalah terlalu sempitnya penafsiran hadits oleh ummat. Hal seperti ini disebabkan oleh para pengkajinya yang masih mementingkan golongannya sendiri atau dengan kata lain berusaha melegalisasi pendapat yang dikemukakan oleh kelompok pengkajinya.

Beranjak dari permasalahan diatas, penulis berusaha membuat kajian terhadap beberapa buah hadits. Kajian hadits yang dimaksudkan adalah dari sisi penafsiran suatu makna hadits dengan memberikan tekanan makna yang universal, sehingga ia bisa dijadikan bahan renungan bagi semua pihak untuk melakukan aksi. Pada tahap pertama ini penulis ingin menguraikan tentang hadits Rasululloh Saw yang berbunyi : " Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.(HR. Muslim dr Abu Hurairah).

Dalam uraian tentang hadits pertama ini, penulis memadukan antara ayat Al-Qur'an dan hadits lain yang penulis anggap mendukung misi dari pembahasan hadits pertama ini. Maksudnya adalah agar apa-apa (hujjah) yang penulis kemukakan tidak menyimpang dengan apa yang penulis jadikan sandaran dalam pembahasan ini.
 
TENTANG HADITS PERTAMA
Sabda Rasululloh Saw : "Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya". (HR. Muslim dr Abu Hurairah).

Membaca dan menelaah hadits di atas dari pemahaman penafsiran yang dewasa ini beredar, kita akan tertuju pada sosok manusia yang telah wafat, karena (menurut penulis) hadits ini begitu amat populer manakala seseorang telah menjadi mayat. Penafsiran tersebut berkisar pada boleh tidaknya seseorang yang telah wafat itu "ditahlilkan". Sehingga dari boleh tidaknya melakukan hal tersebut akan membuat satu kesimpulan tertentu bagi mereka yang melaksanakannya yaitu bid'ah atau perbuatan mereka bertentangan dengan hadits tersebut dengan kata lain hadits tersebut hanya sekedar dijadikan legalitas pembid'ahan tanpa mau lebih dalam dan lebih jauh lagi merenungkan maksud dari hadits tersebut. Dan dengan kesimpulan akhir ini maka hadits ini seakan tidak bermakna dan tidak memotivisir kita untuk melakukan aksi, yang ada dan timbul adalah arena caci maki dan arena perpecahan ummat. Padahal bila direnungkan lebih jauh lagi, maka akan didapatkan 3 (tiga) pesan yang harus "diambil aksi" oleh orang islam sebelum ia mati bukannya setelah mati. Ketiga pesan itu adalah shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh (generasi mumpuni). Ketiganya merupakan hal yang sangat prinsipil sekali dalam kehidupan seorang Muslim dan pergerakannya. Ketertinggalan ummat islam atau kemunduran ummat islam selama ini disebabkan oleh pengabaian yang teramat lama akan hal-hal tersebut diatas.

Untuk itu pada bagian-bagian selanjutnya penulis akan menguraikan tentang ketiga pesan dari hadits pertama. Dalam penguraian ini, penulis tidak menjabarkannya dari sudut kebahasaan (definisi dalam bahasa Arab), tetapi lebih menekankan pada hakekat dari inti permasalahan yang sedang dibahas.
 
SHADAQAH JARIYAH
Berbicara tentang shadaqah jariyah pada hakekatnya kita berbicara tentang dana (harta benda) yaitu bagaimana mendapatkannya dan bagaimana cara mengelolanya. Dana dimanfaatkan untuk menunjang gerak dakwah perjuangan. Sebab tanpa adanya topangan dana, dakwah islam akan mengalami kemunduran dan tidak efektif serta perjuangan islam lambat laun akan mati, dan tanpa adanya dana jurang pemisah antara sikaya dan simiskin akan semakin dalam. Maka wajarlah kalau pesan pertama dari hadits diatas adalah bagaimana kita menghimpun dana. Bukankah Rasul sendiri menyatakan kefakiran lebih dekat kepada kekufuran.

Dewasa ini pengumpulan dan pemberian dana oleh sebagian besar masyarakat islam (umumnya) dilakukan secara tak terorganisir. Misalnya menyumbang untuk jembatan, mushalla, untuk pengemis, dan lain-lain yang sejenisnya. Dikatakan tidak terorganisir karena dalam pelaksanaannya tidak ada suatu badan/instansi yang menarik dana secara khusus. Sehingga pada pelaksanaan ini terkesan sistem gali lubang tutup lubang. Padahal (menurut penulis) shadaqah jariyah adalah suatu gerakan secara terorganisir dalam mengumpulkan dana bagi suatu perjuangan dakwah islam. Ia harus dilakukan secara berkesinambungan dan terprogram. Dengan demikian continuitas pemberian dana serta adanya badan yang menampungnya akan mampu membekali program-program yang dicanangkan.

Untuk itu patut kita teladani pola pengumpulan dana yang dilakukan oleh "YAYASAN AMAL BHAKTI MUSLIM PANCASILA (YABMP)" pada masa ORBA dan BAZIS. Pengumpulan dana dilakukannya secara terorganisir dan continuitas, sehingga dana yang masuk setiap tahunnya dapat diperkirakan dan dengan demikian kedua lembaga tersebut telah mampu untuk membuat rancangan program secara teratur setiap tahunnya mungkin juga lebih. Kedua "Lembaga" tersebut (menurut penulis) telah mampu menangkap ruh (inti) dari hadits pertama ini (walaupun mungkin mereka melakukan aksi tidak karena hadits ini). Dana yang dihimpun oleh kedua lembaga ini digunakan sebagai sarana dakwah sehingga mampu menembus sasarannya yaitu kebutuhan ummat (terutama dalam Pembangunan Masjid-Masjid).

Hari ini dakwah islam (secara khusus) terpuruk pada ketiadaan dana sebagai penopang dakwah itu sendiri. Sebagian besar ummat telah terpenjara dengan jargon-jargon bahwa memenuhi kebutuhan dunia pada hakekatnya telah diperbudak oleh dunia itu sendiri, sehingga banyak ummat yang tidak peduli akan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi adapula sekelompok ummat yang peduli akan pemenuhan kebutuhan dunianya, namun mereka teramat asyik dengan urusan dunianya sehingga melupakan tanggungjawabnya sebagai ummat islam. Dua kondisi inilah yang senantiasa menghantui ummat islam untuk berkiprah. Padahal bila dikaji ajaran islam lebih dalam lagi, ternyata pemenuhan kebutuhan akan "dunia" dengan "akhirat" berada pada posisi yang seimbang. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa ayat Al-Quran, betapa Alloh memerintahkan kepada ummat islam agar senantiasa menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya. Dan Alloh menyatakan bahwa menafkahkan harta dijalan Alloh adalah merupakan jihad fisabilillah yang pertama setelah beriman pada Alloh dan Rasul-Nya (QS 61:10) dan merupakan ciri-ciri orang yang beriman (Qs 2:3).

Yang menjadi tanda tanya besar sampai hari ini adalah, bagaimana mungkin ummat dapat menopang dakwah islam kalau ummat sendiri tidak terdorong untuk melakukan aktivitas pada pemenuhan kebutuhannya? Atau ummat asyik dengan pendekatan hanya pada Tuhan tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial dalam kehidupannya.

Kesemuanya itu tentu saja membutuhkan semangat dan kerja keras dari ummat islam itu sendiri.
 
ILMU YANG BERMANFAAT
Ilmu merupakan identitas keberadaan manusia sejak awal penciptaan. Kelebihan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya salah satunya adalah masalah Ilmu. Ketika Nabi Adam A.S diciptakan, para Malaikat menggugat keberadaan Adam. Lalu dihadapkanlah kepada para Malaikat tentang "benda" dan ketika para Malaikat disuruh menyebutkannya mereka tak mampu. Lalu ketika Alloh perintahkan kepada Adam A.S untuk menyebutkannya, Adam mampu. Pada kesempatan itulah Malaikat mengakui eksistensi Adam lantaran Adam menguasai Ilmu.

Pada lain tempat Alloh memuji dan mendudukkan orang yang beriman dan berilmu pada beberapa tingkatan yang dikehendaki-Nya. (Qs 58:11)

Ketika Rasululloh ditanya oleh orang apa sebaiknya yang harus dimiliki untuk dapat hidup didunia, akhirat, atau kedua-duanya, beliau menjawab "Ilmu".

Betapa pentingnya ilmu itu sampai-sampai Alloh sendiri melarang ummat islam secara keseluruhan pergi kemedan laga, tapi diperintahkan-Nya agar sebagian ummat yang lain mempelajari Ilmu (Qs 9:122).

Pada kurun zaman ini ummat islam jauh tertinggal dalam hal penguasaan IPTEK dari ummat-ummat lain, yang menyebabkan ummat islam amat tergantung pada kemampuan ummat-ummat lain. Ketertinggalan ummat islam dalam hal IPTEK ini membuat ummat islam laksana hidangan yang dikelilingi anjing-anjing kelaparan. Ummat islam senantiasa menjadi objek bagi ummat lain. Dalam kondisi seperti inilah ummat islam menjadi imperior dan minder dalam percaturan politik dunia. Padahal bila kita kaji dan kita sadari, ajaran islam mendorong ummatnya untuk meraih ilmu seluas-luasnya. Perhatikanlah Al-qur'an, betapa ia berbicara tentang penciptaan manusia, hewan, ataupun masalah ruang angkasa, sejarah, masalah sosial, psikologi, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan Rasululloh Saw mewajibkan ummat islam untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahad.
 
ANAK (GENERASI) YANG SHALEH
Terbayang dalam fikiran kita tentang sosok anak yang shaleh adalah seorang anak yang hanya patuh dan taat pada orang tuanya. Pendapat seperti ini tidaklah salah, namun dengan ungkapan seperti di atas terkesan terjadinya salah persepsi tentang hadits ini. Maksudnya anak yang shaleh lebih cenderung dikategorikan pada anak yang mendalami hanya ilmu agama saja (penulis tidak setuju dengan pembedaan ini). Menurut penulis anak yang shaleh dalam hadits ini bisa diartikan sebagai generasi yang mumpuni/berkualitas. Ia memiliki kapabilitas yang tidak diragukan. Untuk itulah Nabi Zakaria A.S amat gundah sekali manakala diusia senja ia belum dikarunia seorang anak sebagai penggantinya kelak, ia senantiasa berdoa dan berdoa (QS.19:3-7).

Sebegitu pentingkah kehadiran seorang anak bagi suatu keluarga sehingga ia amat diharap-harapkan? Ya. Ia sangat penting bagi suatu keluarga. Bahkan bukan saja untuk keluarga tapi ia penting bagi kelanjutan perjuangan ummat islam. Tanpa adanya generasi yang mewarisi, maka tatanan perjuangan yang telah dibentuk akan menjadi kenangan sejarah belaka, dan akan tersimpan diperpustakaan-perpustakaan serta hanya menjadi bahan cemoohan.

Namun demikian generasi yang diharapkan bukanlah hanya mengandalkan dari segi jumlah saja, yang lebih utama adalah kualitas dari para generasinya. Bukankah Alloh mengingatkan kepada orang beriman agar jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah dikemudian hari? (QS 4:9).

Generasi berkualitas/Anak yang shaleh tidaklah datang dengan sendirinya, namun ia harus melewati beberapa tahap pembinaan. Tanpa adanya pembinaan maka generasi/anak yang shaleh tidak pernah akan terwujud. Untuk menciptakan generasi yang mewarisi, perlu kiranya para orang tua memikirkan pola pembinaan kepada anak-anaknya, sehingga nantinya generasi-generasi ummat islam itu mampu berkiprah dalam percaturan dunia dibawah panji-panji Islam. Pembinaan terhadap para generasi hendaknya diarahkan pada dua hal yang utama, yaitu pengenalan (pembinaan) akhlak-akhlak/ajaran Islam dan pembinaan Ilmu Pengetahuan Modern (IPTEK).

Pengenalan akhlak/ajaran Islam

Dewasa ini bisa kita saksikan dengan mata telanjang, betapa ummat islam hampir kehilangan identitas dirinya. Ia tidak lagi banyak mengenal akhlak/ajaran agamanya, baginya kehidupan adalah apa yang datangnya dari barat selain itu kuno dan ketinggalan zaman. Betapa pelecehan-pelecehan ajaran islam kian hari kian bertambah saja. Mode pakaian, pergaulan, perdagangan, dan lain-lain sudah tidak lagi memperhatikan ajaran islam. Ditengah kondisi seperti inilah para orang tua mempunyai tanggung jawab moral yang besar untuk membimbing dan membina serta mengarahkan anak-anaknya pada jalan yang semestinya yaitu ajaran islam. Bukankah Rasululloh Saw sendiri diutus untuk memperbaiki akhlak manusia? Untuk itulah pengenalan ajaran islam hendaknya sejak dini kita berikan kepada anak-anak kita.

Berkenaan dengan pengenalan (pembinaan) akhlak islam, Rasul mengingatkan kepada para orang tua betapa pentingnya pengenalan (pembinaan) anak itu. Sebab ditangan orang tualah anak akan menjadi generasi islam atau generasi kafir. Nabi Saw bersabda.:"Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau, Nasrani, atau Majusi". (HR. Bukhori dari Abu Hurairah).

Hadits ini mempunyai pengertian yang ganda, disatu sisi... secara lahir hadits bahwa anak kita bisa saja pindah ke agama-agama lain bila tidak kita berikan pendidikan dan pemahaman yang benar tentang Islam. Namun dalam pengertian yang lain makna hadits ini bisa lebih luas lagi yaitu akhlak anak-anak kita lambat laun akan mengikuti akhlak-akhlak agama lain. Bukankah dalam kondisi seperti itu anak kita bisa menjadi Nasrani, Yahudi, atau yang lainnya? Coba kita perhatikan sekeliling kita apakah cara berpakaian anak-anak islam sudah mencerminkan akhlak berpakaian Islam? Perhatikan pula cara pergaulan mereka, benarkah mereka menerapkan akhlak islam dalam pergaulannya? Tidak... sekali lagi tidak. Yang mereka ikuti adalah akhlak ajaran Yahudi dan Nasrani. Dalam Al-qur'an Alloh dengan tegas menyatakan bahwa mereka (Yahudi & Nasrani) tidak akan senang kepada kita sampai kita mengikuti ajakan/ajaran mereka (Qs 2:120). Dengan melihat kondisi seperti ini, mau tidak mau sebagai orang tua yang nantinya dimintai tanggungjawabnya oleh Alloh harus berusaha sekuat daya mendidik anak-anaknya. Sejak kecillah anak-anak kita kenalkan ajaran islam. Sebagai contoh, diwaktu kita shalat kita bawa ia shalat, jangan ia kita serahkan keorang lain disaat kita sedang shalat. Bukankah Rasul sendiri memerintahkan kepada kita agar mengajarkan anak kita shalat?

Tentu saja dalam pembinaan anak banyak kendala yang akan kita temui. Dari kondisi didalam rumah, Lingkungan sekitar, teman-teman bermainnya, dan juga masuknya alat-alat modern yang destruktif untuk perkembangan anak. Namun dengan kesungguhan dan niat yang suci hal ini insyaAlloh dapat diatasi.

Pengenalan Alat-Alat Modern
Penguasaan alat-alat modern merupakan suatu kebutuhan yang amat mendesak saat ini. Penguasaan alat modern membutuhkan kemampuan yang cukup, dan ini tentu saja membutuhkan manusia-manusia yang cakap dalam bidang ilmu (generasi mumpuni). Dan manusia yang cakap hanya dapat terwujud apabila kita sebagai orang tua mampu mengarahkan anak-anak kita sehingga anak-anak kita mau mempelajari dan berkecenderungan pada bidang keilmuan modern. Nabi yang suci bersabda "Didiklah anak-anakmu sebab ia diciptakan bukan untuk zamanmu". Betapa jauhnya pandangan Beliau Saw, Beliau sudah mampu memproyeksikan zaman yang akan datang berdasarkan wahyu dari Alloh. Dunia semakin lama berubah demikian juga dengan kemajuan makin lama makin meningkat. Bila hal ini tidak diantisipasi oleh para keluarga muslim didalam membina anaknya dengan ilmu-ilmu modern maka keberadaan ummat Islam akan tetap menjadi objek kemajuan ummat lain.

Dilain hadits beliau mengatakan "Ajarilah anakmu memanah, menunggang kuda, dan berenang". Hadits ini memberi pengertian yang amat luas. Pada zaman dahulu kuda, panah merupakan alat yang sangat modern sekali tentu saja pada kondisi hari ini ia harus kita artikan sebagai penguasaan alat-alat modern.

Pengenalan pertama yang harus kita berikan adalah menanamkan kedalam hatinya tentang pentingnya ilmu, lalu diwujudkan dengan pemberian alat bermain yang kreatif, dan kita dorong dia untuk senantiasa berfikir dan berfikir.

Pengenalan alat modern amat penting bagi kita dan generasi kita. Bukankah dengan mampunya negara adidaya menguasai IPTEK mereka bisa mendikte negara mana saja termasuk negara-negara islam untuk mengikuti kemauan mereka?
 
PENUTUP
Dari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, betapa pemahaman ummat dalam menangkap makna hadits perlu diubah sehingga ummat mampu memberikan sumbangsih kepada masyarakat sekitar sebagai wujud dari rahmatan lil 'alamin. Ladang-ladang pembidahan yang justru menghambat gerak laju dakwah harus segera disingkirkan dari pola pikir ummat.
Juga perlu kiranya difikirkan cara untuk mengelola ketiga potensi tersebut diatas, dengan membuat sebuah program kerja nyata untuk jangka panjang.

Jadi jelaslah bahwa Shadaqah jariyah, Ilmu, dan Anak Shaleh merupakan tuntutan yang mesti kita ciptakan. Hadits pertama diatas seharusnya memberikan semangat kerja dari kita selaku ummat islam. Sebab dengan memperhatikan ketiga-tiganyalah kelangsungan dakwah pergerakan islam akan berlangsung secara terus menerus.

Alloh Berfirman "...Dan Alloh tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri...".

Untuk itulah bila kita menghendaki agar perubahan terjadi pada pergerakan islam seyogianyalah kita memperhatikan hal-hal tersebut diatas sebelum ajal menjemput kita

Bagaimana Sikap Kita Terhadap "Perpecahan" Ummat Islam*)

I. Pendahuluan
   Memberikan definisi ukhuwah islamiyah bukanlah suatu pekerjaan mudah. Sebabnya, antara lain, istilah ini bukan hanya menyangkut sikap lahiriah, melainkan juga sikap batiniah. Tetapi, paling tidak kita dapat memberikan gambaran tentangnya, sebagaimana Rasululloh. Rasululloh menggambarkan ukhuwah Islamiyah dengan contoh-contoh, misalnya: "Muslim yang satu dengan yang lainnya seperti suatu bangunan yang saling kuat-menguatkan", atau dalam hadits lain disebutkan "sebagai satu tubuh yang apabila satu bagian sakit, yang lain akan ikut merasakannya".

   Ukhuwah islamiyah dapat terbentuk manakala ada pengikatnya, seperti firman Alloh : "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Din) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Alloh orang-orang yang bersaudara ; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (QS 3:103).

    Ayat di atas menggambarkan kepada kita betapa Alloh melarang terjadinya tafarruq dan digambarkannya kondisi ummat terdahulu. Karena berpegang teguh kepada Kitab Alloh, Alloh telah menanamkan cinta dan ketulusan sebagai pengganti benci dan kekotoran. Alloh mengingatkan mereka kepada persaudaraan yang telah dibentuk karena iman kepada Alloh, nikmat yang dianugerahkan Alloh atas mereka. Berakhirlah peperangan yang berat. Nikmat Alloh mempersatukan di dalam jiwa mereka: perasaan, kehendak, dan kemauan untuk mewujudkan cinta yang tinggi. Dengan ketulusan dan berkasih-kasihan dan saling membantu. Syiar mereka adalah takwa kepada Alloh dan bermanfaat bagi manusia.

    Namun dalam perjalanan riilnya, ukhuwah terasa sukar sekali untuk diwujudkan. Dari waktu ke waktu justru antar ummat islam saling caci-mencaci curiga mencurigai bahkan saling bunuh membunuh.
 

II. Sejarah Timbulnya Perpecahan Ummat
    Melihat kondisi perpecahan yang ada dan agar kita mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah, maka sudah selayaknyalah kita menghindarkan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Namun demikian hal ini tidaklah mudah sebab dalam tataran penafsiran seringkali banyak perbedaan antara penafsir satu dengan penafsir yang lainnya. Secara harfiah kembali pada Al-Qur’an berarti kembali kepada hal yang disepakati bersama. Tetapi dalam hal petunjuk untuk pengambilan keputusan hukum ayat -ayat Al-Qur’an tidak seluruhnya Qath’i; sebagian diantaranya bersifat Zhanni - artinya memungkinkan penafsiran yang bermacam-macam. Demikian juga sebaliknya dengan As-Sunnah.Perpecahan diantara ummat Islam, seperti yang disebutkan di atas, bukan merupakan suatu gejala baru melainkan sudah tercatat oleh sejarah sejak awal-awal perkembangan Islam. Untuk menilik apa yang menjadi penyebab perpecahan, penulis akan mengutip pendapat Jalaludin Rahmat : Bila berpegang pada tali Alloh merupakan syarat terwujudnya ukhuwah, maka meninggalkan tali Alloh dan berpegang pada "tali-tali" atau ikatan selain Alloh adalah sebab "tafarruq". (QS 6:153). Al-qur’an menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan orang islam meninggalkan ikatan (jalan) Alloh adalah :Dalam perspektif sejarah, ukhuwah Islamiyah telah menghadapi ancaman ketika meledaknya gejolak sosial pada masa kekuasaan khalifah ketiga Usman bin Affan (644-656) yang membawa terbunuhnya Khalifah yang sudah tua ini. Kemudian tampil Ali bin Abi Talib sebagai Khalifah yang keempat dari deretan al khulafa al-rasyidun. Ali sebagai seorang idealis tangguh ingin mengembalikan wibawa kekhalifahan sedemikian rupa seperti pada masa dua khalifah yang pertama, tapi kedatangannya sudah terlambat. Ukhuwah Islamiyah telah terlanjur retak. Pada masa beliau telah terjadi beberapa peperangan yang makin mencoreng lembaran sejarah ukhuwah islamiyah, yaitu terjadinya perang antara Aisyah isteri Nabi dengan Ali yang dikenal dengan perang Jamal. Lalu terjadinya perang Shifin antara pihak Muawiyah bin Abi Sufyan yang didukung oleh Amr bin Ash dan Pihak Ali bin Abi Thalib pada tahun 657. Beberapa tahun setelah itu di Padang "Karbala" terjadi "pembantaian" Hussein bin Ali beserta pengikutnya oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Dikatakan sebagai "pembantaian" sebab disamping jumlah pasukan yang tak seimbang, Kepala Hussein bin Ali pun dipenggal dan dipertontonkan kepada masyarakat


III. Sebab-Sebab Terjadinya Perpecahan
    

1. Pengetahuan Islam yang kurang (5:14)
    Perpecahan (tafarruq) terjadi karena ummat islam mengambil islam sepotong-sepotong. Satu kelompok menekankan dimensi ritual, dan melupakan dimensi sosial. Kelompok lain membesar-besarkan dimensi mistikal, dan mengabaikan dimensi ideologikal.

2. Kedengkian diantara sesama kaum Muslimin (42:14 jo 2:213; 3:19; 45:17)
   Prestasi suatu golongan lain - yang seharusnya mendorong golongan lain untuk juga berprestasi sama - malah menimbulkan iri pada golongan lainnya. Tidak jarang, ketika satu golongan Islam dizalimi, golongan lain berusaha mencari muka kepada pihak yang menzalimi. Pada tahap individual, sering mubaligh memfitnah mubaligh lain hanya karena persaingan popularitas. Penyebab kedengkian lainnya boleh jadi kedudukan, pangkat, atau kekayaan.

3. Tidak mau menggunakan akal (Al-Hasyr (59):14)
    Islam menempatkan akal pada posisi yang sangat penting, tetapi betapa seringnya akal dikesampingkan. Bukankah tidak logis orang mempertentangkan yang sunnah (seperti Shalat Tarawih) dan melakukan yang haram (seperti memutuskan silaturrahiim)? Bukankah tidak logis bersikapsangat keras terhadap kaum Muslimin dan sangat lembut terhadap orang kafir? Perbedaan pendapat akan selalu terjadi bila emosi dan bukan rasio - fanatisme golongan dan bukan akal sehat - dipakai untuk menyelesaikan perbedaan itu.

4. Kecintaan Pada Dunia (3:152)
    Ayat ini turun pada waktu perang Uhud, ketika sebagian shahabat melanggar perintah Rasul karena tertarik dengan barang ghanimah. Peristiwa yang sama sering terjadi dalam sejarah islam .

5. Tidak menyerahkan kepercayaan atau Kepemimpinan kepada kaum Muslimin lagi 
    (QS Hud (11 ):116)
    Perselisihan terjadi karena rahmat Alloh tidak diberikan. Perselisihan tidak akan terjadi pada orang-orang yang dirahmati (QS 9:71)

IV. Sikap Menghadapi Perpecahan
     

Namun demikian dalam menghadapi perpecahan (‘perbedaan’) ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Sepakat pada yang qathi, siap berbeda pada yang zhanni
    Hukum fiqih dibagi dalam 2 (dua) bagian besar, pertama berkenaan dengan pokok-pokok akidah, ibadah, dan muamallah yang disetujui bersama - apapunmazhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu’) dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturrahim
    Bila terjadi perbedaan faham atau penafsiran pada hal-hal yang zhanni, kita harus menguji perbedaan faham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarzih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap zhanni. Ditengah-tengah ummat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan ummat atau tidak mendatangkan mudharat (prinsip silaturrahim).

3. Ijtihad bagi ulama dan taqlid bagi awam.
    Membedakan mana yang qathi dan zhanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Al-qur’an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan :"Katakanlah apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan? (13:16) jo(Fathir : 19; 39:9; 58:11.)

V. Penutup
    Demikianlah sekilas tentang perpecahan dan sikap yang harus kita ambil. Pada bagian ini perkenankanlah saya bawakan hadits Rasululloh SAW mengenai doa permohonan Rasululloh kepada Alloh. Ake bermohon pada Tuhanku dengan tiga perkara, dua dikabulkan dan satu ditolek. Adapun yang dikabulkan adalah (1) agar ummatku jangan dibinasakan dengan musim kemarau dan (2) agar ummatku jangan dibinasakan oleh wabah penyakit. Sementara yang ditolak adalah (3) agar jangan ada pertikaian diantara ummatku.

*) Dari berbagai sumber

Monday 18 October 2010

“Kal an ‘am balhum Adhol”


Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS 7: 179)

----
Sedang dalam proses