muhasuh

muhasuh
situgintung

Tuesday 30 November 2010

Hijrah (Bag 1)

“...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...” (QS 13:11)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : Muhamad Suharto

“Hijrah” dalam pandangan ummat islam merupakan sesuatu yang teramat penting dan tak mungkin untuk dilupakan, sebab ia merupakan titik awal perjuangan ummat dalam menegakkan nilai nilai tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari kota Makkah yang telah penuh dengan fitnah, intimidasi, kekerasan, pemboikotan, pengusiran, pembunuhan dan rencana pembunuhan terhadap Nabi SAW dan sepertinya tak ada ruang untuk bernafas bagi ummat Tauhid ini, maka Allah memerintahkan Nabinya untuk berhijrah ke kota Madinah yang penuh dengan harapan dan masa depan yang dijanjikan. Kedudukan kota Madinah sebagai kota yang penuh harapan tersebut, tidak serta merta terjadi melainkan melalui proses yang panjang yang dilakukan Nabi di kota Mekah melalui beberapa pertemuan dengan perwakilan masyarakat Medinah yang dikenal dengan Aqabah I dan Aqabah 2.

Dan dari proses Hijrah tersebutlah masyarakat Islam yang rahmatan lil alamin yang membawa “peradaban wahyu” yang menyibghoh (mewarnai) diri (pemerintahan) dengan shibghoh Ilahi dan yang memiliki “Izzah” (kewibawaan) terbentuk. Maka tak heran setiap datangnya tahun baru hijriah, sebagian besar ummat Islam senantiasa memperingatinya, dengan berbagai macam bentuk, baik yang berada dipelosok-pelosok kampung sampai ke perkotaan bahkan senantiasa diperingati dalam skala nasional (kenegaraan). Peringatan ini tidak lain dimaksudkan agar ummat kembali termotivasi untuk melakukan serangkaian perubahan yang mendasar dalam diri ummat itu sendiri agar terhindar dari intervensi dan “penjara” atau kungkungan kegelapan yang “sengaja’ diciptakan baik oleh ummat itu sendiri ataupun “pihak-pihak” yang tidak menghendaki bangkitnya kembali ummat Islam dalam percaturan kehidupan dunia. “Intervensi” dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai asing ke dalam nilai-nila Ilahi,dengan maksud menyingkirkannya/ meminggirkannya, sehingga nilai Ilahi bukan lagi menjadi pegangan bagi ummat dalam meniti kehidupannya. Sementara itu “Penjara” dibuat agar ummat tidak dapat bergerak bebas dalam menjalankan perintah-perintah Ilahi. Hal ini dilakukan dengan menyibukkan dan membiarkan serta memberi ruang yang lebar kepada ummat dengan hanya “pendekatan vertikal” saja, dan menjauhkannya dari percaturan perpolitikkan dan kehidupan sosial. Sementara kungkungan kegelapan dilakukan dengan jalan menciptakan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC) ditengah-tengah ummat, sehingga ummat buta dan membabibuta pada hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam. Jadilah ummat terbuai terus menerus dengan mimpi indah kejayaan masa lampau dan anggapan keusangan ajarannya.

Namun peringatan tinggalah peringatan, ia hanya sebatas seremonial belaka yang dikumandangkan dimimbar-mimbar tanpa aksi melakukan proses menuju hijrah itu sendiri. Maka jadilah peringatan-peringatan hijrah yang diselenggarakan setiap tahun sepertinya hambar dan sekedar basa basi serta hanya bernostalgia akan keberhasilan masa lalu. Dan kalau hanya sampai pada kondisi seperti itu, maka peringatan hijrah pastinya tidak akan mampu mengangkat “harkat dan martabat” ummat dalam kehidupan di dunia sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh generasi awal ummat. Ummat islam tetap saja hidup dalam tekanan dan “tertekan”, sekalipun ia hidup di dalam sebuah wilayah yang “mayoritas” beragama islam. Ummat bagaikan ikan yang dipaksa hidup di darat dengan tetesan air. Menggelepar, mati tidak, hidupun tidak.

Tengoklah kehidupan yang dihadapi oleh ummat dibelahan bumi manapun, ummat hampir TIDAK memiliki harga diri ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Lihatlah misalnya Bumi Palestina yang terus bergolak dan menjadi tempat “latihan tempur” Zionis Israel. Mereka dibiarkan sendiri menghadapi satu kekuatan yang memiliki persenjataan dan dana yang tak terhingga. Sementara itu pemimpin-pemimpin Islam yang seharusnya membantu mereka diam seribu bahasa bahkan seringkali kongkalikong” dengan bangsa penjajah.

Dengan kondisi seperti itu membuat bangsa-bangsa lain makin berani dan berulah, menekan dan mengontrol kehidupan ummat ini. Mereka bebas mempersepsikan ummat dengan persepsi mereka sendiri, maka muncullah sentimen-sentimen negatif dan kontrol penuh pada kehidupan ummat.

Dalam kaitannya dengan sentimen negatif misalnya, tekanan yang dilakukan adalah dengan memandang sinis kepada setiap pemeluk islam. Pemeluk islam dianggap sebagai ancaman atas eksistensi mereka, atau setiap pemeluk islam adalah potensi pencipta terror di masyarakat dan sekaligus “makanan” empuk untuk dibantai tanpa ada yang peduli sedikitpun. Kenyataan ini terlihat dari pandangan-pandangan “dunia” terhadap islam. Cap teroris misalnya, hanya dilekatkan kepada pemeluk islam,dan kita tidak pernah mendengar adanya teroris Budha, teroris katolik, teroris protestan, teroris hindu, teroris shinto dan lain-lainnya. Bahkan ummat yang sedang mengusahakan kemerdekaan dari penjajahan bangsanyapun dicap sebagai teroris atau ummat yang sedang mengusir penjajah dari negerinya yang berdaulat tetap saja di cap sebagai teroris. Sementara mereka yang mengagresi negeri dan membantai “umat” islam dan bahkan melakukan teror di dalam negeri ummat islam tidak pernah dicap sebagai teroris. Atau misalnya penindasan terhadap suatu kaum yang bukan ummat islam yang terjadi puluhan tahun silam, sampai hari ini pelakunya terus dikejar dan dicap sebagai penjahat perang. Sementara perlakuan yang amat bengis bangsa Spanyol terhadap ummat Islam, yang kebengisannya melebihi kekejaman manapun manusia di dunia ini dibiarkan berlalu. Atau yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus Bosnia.

Sementara itu tekanan yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih “ganas” lagi. Ummat seakan “dipaksa” untuk menjauhi segala sesuatu yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi. Produk-produk budaya yang tidak sesuai bahkan dengan nilai lokal sekalipun terpaksa harus ditelan mentah-mentah, sebab produk-produk tersebut memang dipaksa melenggang masuk ke rumah-rumah ummat, bahkan sampai ke tempat yang pribadi sekalipun. Umat tidak memiliki saringan sebab ummat sudah terbebani oleh kebutuhan-kebutuhan duniawi yang makin hari makin menohok mereka. Lebih-lebih generasi muda dari ummat, generasi yang diharapkan mampu membawa beban kini malah menjadi beban itu sendiri, mereka sudah terbius tanpa daya oleh kesenangan-kesenangan sesaat. “Pergaulan bebas” sudah dikenal oleh mereka dari tingkatan pendidikan yang terendah sampai perguruan tinggi. Tengoklah acara-acara sinetron kita, exploitasi terhadap kaum muda begitu merajalela, padahal kebiasaan mereka menjadi contoh bagi sebagian besar kaum muda diseluruh pelosok.

Dengan kondisi tersebut, berat rasanya bagi umat untuk dapat bengkit dari keterpurukan, dan dari mimpi yang tengah membuai dirinya dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.

Untuk itulah dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih baik, ummat harus meyakini bahwa perubahan PASTI terjadi manakala mau mengubah sikap dan prilaku ke arah yang lebih baik (QS 13:11)

Dan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat kita lakukan manakala kita menyadari bahwa perubahan tersebut dapat terjadi bila kita memiliki semangat, tekad dan komitmen serta Flatform ke arah perubahan itu sendiri. Dengan kata lain kita harus merekonstruksi mimpi “HIJRAH”. Dari sekedar bangga akan masa lalu menjadi tahap-tahap dalam melakukan perubahan, yang dimulai dari diri sendiri.

Semangat, tekad dan komitmen itu adalah kembali (hijrah) secara total kepada “Nilai-nilai Qur’an” (“Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”) dan “Hikmah” (“Sungguh telah ada pada diri Rasululloh itu contoh yang terbaik bagimu”) yang selama ini kita lupakan sebagai suatu Flatform. Keduanya harus menjadi rujukan dan pijakan dalam menjawab fenomena yang ada yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bila kita ingin bangkit dari keterpurukan dan mimpi-mimpi disiang bolong dan meraih “izzah”. Dengan Al-Qur’an ummat akan terhindar dari tipu daya dan akan berlaku adil sebab ia memberikan petunjuk yang PASTI bukan abu-abu. Dan dengan “hikmah” ummat dapat becermin dalam menata bangunan-bangunan wahyu yang akan diwujudkannya. Dan bangkitnya umat dengan Qur’an dan Sunnah memiliki arti penting bagi tatanan kehidupan dunia, yaitu mengembalikan tatanan aturan pergaulan yang sejati, sebab ummat akan bersikap mengayomi negara miskin dan kecil secara adil, menghapus perbudakan modern dan intimidasi yang saat ini dipamerkan oleh “Hansip Dunia” (Baca: AS). Membawa kemakmuran yang selama ini di rampok dan dihisap oleh “Hansip Dunia” dan kroni-kroninya.

Kondisi seperti itu baru akan terwujud manakala ummat menyadari bahwa dunia membutuhkan mereka. Sehingga mereka merasa terpanggil dan berusaha sekuat tenaga untuk “berhijrah” dan menyibghah diri dengan shibgah Ilahi (QS 2: 138). Keterpanggilan ummat menjadi hal yang sangat utama, sebab hari ini penguasa dunia tidak mampu memberikan perlindungan, keadilan dan kemakmuran bagi penduduk dunia. Mereka asyik memperkaya diri sendiri dan membiarkan negera-negara miskin bergantung dan dihisap sumberdaya yang mereka miliki. Amerika dan sekutu-sekutunya tidak pantas dan tidak mampu menjadi “Khalifah Fil Ardh”, karena ia lebih mementingkan masyarakatnya sendiri. Keadilan hanya untuk bangsanya, demokrasi hanya untuk bangsanya, dan segala sesuatu hanya untuk bangsanya bukan untuk kemashlahatan dunia dan isinya.

(Bersambung)

Wednesday 10 November 2010

Loyalitas dan Komitmen Muslim

Oleh : Muhamad Suharto
I. DEFINISI MUSLIM

I.1. Siapakah Muslim Itu?


Dewasa ini ummat islam di Indonesia merupakan mayoritas dibandingkan dengan jumlah penganut/ummat lainnya. Hal ini terlihat dalam sensus penduduk yang telah dilakukan berkali-kali terakhir tahun 2010 dengan prosentase di atas 85%. Dengan jumlah yang cukup besar itu semestinya nilai-nilai keislaman mampu mewarnai kehidupan/aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan ummat Islam pada khususnya. Namun hal ini tidak dapat terlaksana, sebab meskipun ummat islam mayoritas dalam kuantitas tapi ummat Islam juga merupakan minoritas dalam kualitas. Maksud dari minoritas dalam kualitas adalah banyaknya ummat islam yang tidak mengerti (tidak mau tahu) tentang islam itu sendiri. Kondisi ini diperburuk dengan sikap sebagian besar ummat islam yang merasa bahwa mereka adalah seorang islam dikarenakan nama dan keturunan yang disandangnya.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini maka wajarlah bila -nilai-nilai ilahiyah tidak terwujud dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat islam pada khususnya.


Melihat situasi diatas timbul satu pertanyaan tentang definisi seorang muslim. Apakah seseorang dianggap sebagai muslim hanya dengan menyandang nama dan keturunan islam?


Islam Tidak Ditentukan Oleh Nama dan Keturunan
Apakah benar ungkapan di atas bahwa untuk menjadi muslim cukup dengan hanya menyandang nama atau keturunan islam saja? Tentunya tidak. Untuk menjadi seorang muslim tidaklah ditentukan oleh nama yang disandangnya atau karena ia keturunan dari seorang tokoh islam, tapi untuk menjadi seorang islam ia harus menyerahkan seluruh kehidupannya hanya pada Alloh semata. Boleh-boleh saja seseorang yang karena namanya menyandang nama islam atau keturunannya merupakan tokoh islam lalu mengklaim bahwa dirinya sebagai seorang islam. Contoh kasus diatas telah ada pada pentas sejarah Islam itu sendiri. Sebagai contoh anak seorang Nabi Nuh dinyatakan oleh Alloh bukanlah sebagai orang islam karena ia tidak mau tunduk pada ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Dan betapa banyaknya orang yang memakai nama islam ternyata dalam kesehariannya "alergi" terhadap islam. Kalau anak seorang Nabi saja tidak diakui keberadaannya dalam islam, bagaimana dengan kita yang pada kenyataannya hanyalah seorang manusia biasa?


Untuk menjadi seorang muslim, maka "seseorang" harus membuktikannya dalam tindakan kesehariannya. Bila seseorang dalam aktifitas kesehariannya tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Alloh, maka pada hakekatnya orang tersebut belum dapat dikatakan sebagai muslim.


1.2. Komitmen Muslim Terhadap Islam


Pada bahasan diatas, tampak bahwa predikat seorang muslim tidaklah ditentukan oleh nama dan keturunannya melainkan ditentukan oleh aktivitas kesehariannya selaku seorang muslim. Aktivitas-aktivitas itu merupakan komitmen dirinya sebagai seorang muslim bagi agamanya.


Mengimani Islam
Setiap diri muslim wajib mengimani (meyakini) kesempurnaan dan kemutlakan kebenaran Islam sebagai suatu sistem hidup, sebagai satu kebulatan ajaran yang universil dan eternal, kemudian mereka istiqomah dalam iman dan keyakinannya itu serta senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan mutu iman - keyakinannya itu.(Qs 4:136)


Memahami Islam
Setiap diri muslim wajib memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan (pengertian, pemahaman, penghayatan, dan penguasaan) tentang Islam dalam segala jenisnya sesuai dengan kemampuannya, pada setiap kesempatan, dan terus menerus.


Hadits Nabi : "Barangsiapa yang dikehendaki Alloh kebikan maka dia difahamkan tentang Agama" (lihat juga QS.6:125; 38:22;9:122)


Mengamalkan Islam
Setiap diri muslim wajib memanfaatkan iman keyakinannya dan ilmu pengetahuan tentang islam dalam amal perbuatannya sehari-hari, dalam pelbagai segi kehidupan dan penghidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuannya masing-masing dengan jalan merealisasikan islam dalam dirinya, lingkungannya.


Menyebarkan Islam
Setiap diri muslim wajib menyebarkan islam sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya masing-masing kepada orang lain, baik islam maupun orang-orang yang tidak atau belum beragama islam.


Hadits Nabi : "Sampaikanlah apa-apa dariku walaupun satu ayat" (lihat juga QS(5:67; 3:110)


S h a b a r
Setiap diri muslim wajib bershabar menerima segala resiko sebagai konsekwensi pernyataan sikapnya tersebut.



III JAMAAH BAGI SEORANG MUSLIM


Dari uraian di atas terlihat bahwa untuk merealisasikan nilai-nilai Islam ketengah-tengah masyarakat dibutuhkan kesiapan pribadi sebagai seorang muslim. Yang dengan kesiapan itulah maka ia akan mampu sedikit-demi sedikit menebarkan rahmat Alloh dimuka bumi ini.


Namun demikian perjuangan untuk menebarkan rahmat Alloh yang dilakukan hanya dengan perseorangan terasa sulit dilaksanakan, karena pada akhirnya nanti objek dakwah haruslah mempunyai wadah untuk tempat saling "tegur dan sapa".


Disamping itu ada hal yang lebih penting lagi disamping kesiapan pribadi tersebut yaitu kordinasi antara individu-individu muslim dalam merealisaikan nilai-nilai ketengah-tengah masyarakat. Koordinasi antar individu inilah yang dalam islam dikenal dengan istilah "JAMAAH/UMMAH"


3.1 Definisi Jamaah/Ummah
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jamaah, berikut akan diuraikan tentang makna jamaah/ummah ditinjau menurut Al-Qur'an dan menurut istilah.


Definisi Jamaah/Ummah menurut Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an QS.3:103 Alloh berfirman : "Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Alloh (Al-Islam) secara berjamaah dan janganlah kamu bercerai berai".


Pada ayat ini Alloh dengan gamblang memerintahkan pada setiap diri muslim agar dalam merealisasikan kehendak-kehendaknya haruslah saling berkoordinasi satu sama lain dalam wadah atau Jamaah/Ummah, dan Alloh melarang setiap diri yang mengaku muslim berada diluar jalur koordinasi sesama muslim (Jamaah/Ummah).


Definisi Jamaah/Ummah Menurut Istilah
Ali Syariati dalam bukunya "Ummah dan Imamah" mendefinisikan ummah/ jamaah sebagai suatu kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama yang satu sama lain saling bahu membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif. Sementara itu dalam buku "Tauhid", Ismail Raji' Al-Faruqi mendefinisikan "Ummah/Jamaah" sebagai suatu masyarakat universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnisitas/komunitas yang paling luas, tetapi yangg komitmennya terhadap islam mengikat mereka dalam tata sosial yang specifik.


Dari 2 (dua) definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jamaah adalah kumpulan orang-orang beriman yang terikat pada tujuan dan cita-cita memperjuangkan dan membumikan Al-Qur'an di mayapada ini. 3.2 Urgensi Jamaah/Ummah Bagi Muslim

Ditinjau dari dua definisi di atas, terlihat betapa pentingnya "kehadiran" sebuah wadah koordinasi bagi seorang muslim dalam rangka menyamakan gerak dan langkah untuk menebarkan rahmat-rahmat Alloh bagi segenap alam semesta. Lalu apakah urgensinya sebuah jamaah bagi seorang muslim?


Tidak Ada Islam Tanpa Ummah/Jamaah
Alloh berfirman "Hendaklah terwujud dari kalian, suatu ummat yang menyeru pada kebajikan, yang menyuruh berbuat kebaikan dan melarang kejahatan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS.3:104). Lihat juga QS 9:71; 5:3,79


Dari ayat di atas jelaslah bahwa ummat islam diperintah untuk membentuk diri mereka menjadi ummah, yaitu suatu pertubuhan sosial yang diorganisir.


Nabi SAW menggariskan, "Tidak boleh bagi tiga orang Muslim untuk berada di suatu tempat tanpa mengangkat salah seorang diantara mereka untuk menjadi pimpinan".


Hal ini dikarenakan bahwa tujuan orang-orang Muslim adalah melaksanakan ibadah, menjalankan ketentuan-ketentuan Ilahi, merealisasikan keadilan, melaksanakan hudud, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti, maka tidak ada jalan lain kecuali membentuk diri mereka menjadi ummah, suatu masyarakat organis yang memiliki imarah, atau pemerintahan.


Dengan demikian tanpa adanya sebuah pertubuhan sosial (Ummah/Jamaah) maka nilai-nilai Ilahiyah tidak akan dapat dibumikan ketengah-tengah masyarakat. Ini dapat berarti bahwa Islam tidak pernah akan ada tanpa adanya manusia-manusia yang mau menjalankan Islam itu sendiri

Thursday 4 November 2010

Kepala Keluarga dan Tanggungjawabnya

 
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...." (QS 4: 34)


 
Hidup berkeluarga menyebabkan kita berusaha sekuat daya dalam memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Untuk itu apapun kita lakukan, rasa lelah kita lawan dengan sekuat tenaga kita, berangkat pagi pulang hampir pagi atau kaki jadi kepala - kepala jadi kaki, asalkan semua itu mampu menopang keberlangsungan rumah tangga kita. Waktu-waktu istirahat (tidur) dan bangun pun kita atur sedemikian rupa agar kita tidak terlambat dalam menggapai rezeki yang kita harapkan atau agar kita tidak mendapat teguran dari kantor kita. Dan bila tiba waktu libur, maka kitapun berusaha untuk membahagiakan keluarga dengan berkumpul bersama atau bersilaturrahmi dengan sanaksaudara/ teman dan bahkan kita menyisihkan waktu untuk berwisata menghilangkan kejenuhan ditempat kerja.

Sebagai kepala keluarga (pemimpin) seperti yang diungkap dalam Surat An-Nisa : 34 tersebut di atas, suami memegang peranan yang sentral dalam rumah tangga. Dia menjadi nahkoda untuk mengarahkan bahtera sampai ke pulau harapan. Bukan hanya itu diapun harus mampu berperan memberikan kenyamanan dan ketenangan manakala bahtera yang menuju pulau harapan dilamun ombak. Diapun harus mampu menyelamatkan dan berkorban demi keselamatan seisi bahtera terlebih dahulu daripada dirinya sendiri. Dengan ungkapan seperti itu, maka wajarlah bila Islam memberikan keistimewaan kepada seorang kepala keluarga.

Keistimewaan yang diberikan tidak serta merta menjadikan seorang suami bebas untuk melakukan apa saja yang dia sukai tanpa kontrol. Kontrol yang dimaksud adalah keseimbangan antara keistimewaan yang diberikan dengan tanggungjawab dirinya sebagai seorang suami. Untuk itu islam memberikan dipundak para suami beban tanggungjawab yang tidak ringan yaitu menjaga dan mengantarkan dirinya dan seluruh keluarganya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Beban tanggungjawab inilah yang mesti difahami oleh siapapun yang ada dalam bahtera sehingga tujuan mencapai pulau harapan bukan hanya sekedar fatamorgana.

Ada 3 (tiga) hal (minimal - menurut saya) tanggungjawab seorang suami kepada keluarganya untuk mencapai pulau harapan, yaitu: pertama, memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, kedua memberi rasa aman dan nyaman, ketiga memenuhi kebutuhan ruhani diri dan keluarga.

1. Memenuhi kebutuhan materi
   
    Memenuhi kebutuhan materi merupakan salah satu kewajiban yang melekat dalam diri kepala keluarga, seperti yang telah diuraikan dalam pendahuluan tulisan ini. Islam mengajarkan kepada para kepala keluarga agar memenuhi kebutuhan ini. "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf..." (QS 2: 233) dengan cara apapun yang penting halalan thoyibah. Nabi SAW bersabda: "Sungguh salah seorang kalian mengambil beberapa utas tali lalu ia pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memebrinya maupun tidak" (HR Bukhari)

2. Memberi rasa aman dan nyaman serta kasih sayang

    Salah satu tujuan dari berumah tangga adalah terciptanya rasa aman dan nyaman. Maka tugas kepala rumah tanggalah untuk mengusahakannya. Kepala keluarga tidak boleh mengabaikan kebutuhan ini dengan alasan apapun termasuk kesibukan memenuhi kebutuhan keluarganya. Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya" (HR Tirmidzi - Hasan shahih). Ditangan kepala keluarga yang memiliki akhlak yang baiklah akan terwujud rasa aman dalam rumah tangga. "...Dan pergaulilah wanita (istri) itu dengan cara yang ma’ruf..." qs 4: 19)

3. Memenuhi kebutuhan Ruhani

   yang dimaksud adalah meluruskan segala macam aktifitas/ kebutuhan yang kita lakukan hanya untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. (QS 51:56)

Kebutuhan akan hal ini seringkali ter(di)abaikan oleh kepala keluarga. Padahal tugas ini merupakan kewajiban paling hakiki bagi seorang kepala keluarga. Bila dalam hal memenuhi 2 (dua) kebutuhan sebelumnya kita biasa ngotot, pantang menyerah dan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya, maka dalam memenuhi kebutuhan yang satu ini sering kali kita lakukan dengan seadanya, apa adanya atau sekedarnya saja. Kita tidak begitu ngotot, mudah menyerah dan terkadang sambil bermain-main. Padahal dengan memenuhi kebutuhan ini akan menunjukkan bukti cinta kita yang sejati terhadap orang-orang yang kita cintai (keluarga) dan dengan memenuhi kebutuhan inilah tanggunngjawab kita sebagai kepala keluarga teruji lahir dan batin.

Bukti cinta yang dimaksud adalah bahwa sebagai seorang yang memiliki keimanan kepada Allah, yakin akan pertanggungjawaban dari apa yang kita lakukan didunia ini setelah mati. Sehingga akan memunculkan banyak pertanyaan didalam benak kita, antara lain; Bekal apa yang kita miliki dan bekal yang bagaimana yang akan kita bawa kehadapan Robb kita? Apakah kita sebagai kepala keluarga sudah melakukan penyelamatan untuk diri dan keluarga kita?

Ayat berikut (mungkin) dapat menyadarkan kita untuk dapat membuktikan cinta kita kepada keluarga kita. "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (QS At-Tahrim (66): 6)

Bila kita perhatikan ayat di atas, terlihat bahwa Allah memberikan tanggung jawab penuh kepada kepala keluarga untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Tidak hanya informasi sebatas itu, bahkan Allah memberikan informasi lebih luas lagi tentang bahan bakar neraka dan sifat-sifat penjaga neraka sekaligus. Hal ini tentunya menjadishock theraphy bagi kepala keluarga agar jangan main-main terhadap tugas dan tanggungjawabnya.

Semoga Allah memberikan kepada kita kekuatan lahir dan batin untuk dapat berperan aktif dan penuh dalam menjalankan fungsi rumah tangga. Amin ya Robbal alamin
(Draft Tulisan)
Referensi
Al-Qur’an Digital 2.0
Riyadhus shalihin - Akbar Press sept 2009