muhasuh

muhasuh
situgintung

Tuesday 19 October 2010

MEMAHAMI MAKSUD SUATU HADITS


MEMAHAMI MAKSUD SUATU HADITS SEBUAH REORIENTASI PEMIKIRAN UMMAT UNTUK AKSI
(Hadits Pertama) 


PENDAHULUAN
Dalam pandangan ummat islam, hadits mempunyai kedudukan yang teramat penting. Ia merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Sebagai salah satu sumber hukum, hadits Nabi banyak dipakai sebagai legalisasi terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh ummat. Hal ini dimungkinkan karena Al-Qur'an tidak selamanya secara rinci memberikan putusan akhir bagi suatu permasalahan. Dalam posisi seperti inilah peran hadits amat dibutuhkan sebagai penjelas dari maksud Al-Qur'an tersebut. Namun demikian masih banyak diantara ummat islam yang kurang mampu menempatkan hadits secara proporsional. Kekurangmampuan dalam menempatkan hadits secara proporsional menyebabkan hadits nabi kehilangan elastisitas makna yang dikandungnya. Dengan kehilangan elastisitasnya, hadits nabi menjadi kering tak bernyawa. Kekeringan makna yang dimaksud adalah terlalu sempitnya penafsiran hadits oleh ummat. Hal seperti ini disebabkan oleh para pengkajinya yang masih mementingkan golongannya sendiri atau dengan kata lain berusaha melegalisasi pendapat yang dikemukakan oleh kelompok pengkajinya.

Beranjak dari permasalahan diatas, penulis berusaha membuat kajian terhadap beberapa buah hadits. Kajian hadits yang dimaksudkan adalah dari sisi penafsiran suatu makna hadits dengan memberikan tekanan makna yang universal, sehingga ia bisa dijadikan bahan renungan bagi semua pihak untuk melakukan aksi. Pada tahap pertama ini penulis ingin menguraikan tentang hadits Rasululloh Saw yang berbunyi : " Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.(HR. Muslim dr Abu Hurairah).

Dalam uraian tentang hadits pertama ini, penulis memadukan antara ayat Al-Qur'an dan hadits lain yang penulis anggap mendukung misi dari pembahasan hadits pertama ini. Maksudnya adalah agar apa-apa (hujjah) yang penulis kemukakan tidak menyimpang dengan apa yang penulis jadikan sandaran dalam pembahasan ini.
 
TENTANG HADITS PERTAMA
Sabda Rasululloh Saw : "Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya". (HR. Muslim dr Abu Hurairah).

Membaca dan menelaah hadits di atas dari pemahaman penafsiran yang dewasa ini beredar, kita akan tertuju pada sosok manusia yang telah wafat, karena (menurut penulis) hadits ini begitu amat populer manakala seseorang telah menjadi mayat. Penafsiran tersebut berkisar pada boleh tidaknya seseorang yang telah wafat itu "ditahlilkan". Sehingga dari boleh tidaknya melakukan hal tersebut akan membuat satu kesimpulan tertentu bagi mereka yang melaksanakannya yaitu bid'ah atau perbuatan mereka bertentangan dengan hadits tersebut dengan kata lain hadits tersebut hanya sekedar dijadikan legalitas pembid'ahan tanpa mau lebih dalam dan lebih jauh lagi merenungkan maksud dari hadits tersebut. Dan dengan kesimpulan akhir ini maka hadits ini seakan tidak bermakna dan tidak memotivisir kita untuk melakukan aksi, yang ada dan timbul adalah arena caci maki dan arena perpecahan ummat. Padahal bila direnungkan lebih jauh lagi, maka akan didapatkan 3 (tiga) pesan yang harus "diambil aksi" oleh orang islam sebelum ia mati bukannya setelah mati. Ketiga pesan itu adalah shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh (generasi mumpuni). Ketiganya merupakan hal yang sangat prinsipil sekali dalam kehidupan seorang Muslim dan pergerakannya. Ketertinggalan ummat islam atau kemunduran ummat islam selama ini disebabkan oleh pengabaian yang teramat lama akan hal-hal tersebut diatas.

Untuk itu pada bagian-bagian selanjutnya penulis akan menguraikan tentang ketiga pesan dari hadits pertama. Dalam penguraian ini, penulis tidak menjabarkannya dari sudut kebahasaan (definisi dalam bahasa Arab), tetapi lebih menekankan pada hakekat dari inti permasalahan yang sedang dibahas.
 
SHADAQAH JARIYAH
Berbicara tentang shadaqah jariyah pada hakekatnya kita berbicara tentang dana (harta benda) yaitu bagaimana mendapatkannya dan bagaimana cara mengelolanya. Dana dimanfaatkan untuk menunjang gerak dakwah perjuangan. Sebab tanpa adanya topangan dana, dakwah islam akan mengalami kemunduran dan tidak efektif serta perjuangan islam lambat laun akan mati, dan tanpa adanya dana jurang pemisah antara sikaya dan simiskin akan semakin dalam. Maka wajarlah kalau pesan pertama dari hadits diatas adalah bagaimana kita menghimpun dana. Bukankah Rasul sendiri menyatakan kefakiran lebih dekat kepada kekufuran.

Dewasa ini pengumpulan dan pemberian dana oleh sebagian besar masyarakat islam (umumnya) dilakukan secara tak terorganisir. Misalnya menyumbang untuk jembatan, mushalla, untuk pengemis, dan lain-lain yang sejenisnya. Dikatakan tidak terorganisir karena dalam pelaksanaannya tidak ada suatu badan/instansi yang menarik dana secara khusus. Sehingga pada pelaksanaan ini terkesan sistem gali lubang tutup lubang. Padahal (menurut penulis) shadaqah jariyah adalah suatu gerakan secara terorganisir dalam mengumpulkan dana bagi suatu perjuangan dakwah islam. Ia harus dilakukan secara berkesinambungan dan terprogram. Dengan demikian continuitas pemberian dana serta adanya badan yang menampungnya akan mampu membekali program-program yang dicanangkan.

Untuk itu patut kita teladani pola pengumpulan dana yang dilakukan oleh "YAYASAN AMAL BHAKTI MUSLIM PANCASILA (YABMP)" pada masa ORBA dan BAZIS. Pengumpulan dana dilakukannya secara terorganisir dan continuitas, sehingga dana yang masuk setiap tahunnya dapat diperkirakan dan dengan demikian kedua lembaga tersebut telah mampu untuk membuat rancangan program secara teratur setiap tahunnya mungkin juga lebih. Kedua "Lembaga" tersebut (menurut penulis) telah mampu menangkap ruh (inti) dari hadits pertama ini (walaupun mungkin mereka melakukan aksi tidak karena hadits ini). Dana yang dihimpun oleh kedua lembaga ini digunakan sebagai sarana dakwah sehingga mampu menembus sasarannya yaitu kebutuhan ummat (terutama dalam Pembangunan Masjid-Masjid).

Hari ini dakwah islam (secara khusus) terpuruk pada ketiadaan dana sebagai penopang dakwah itu sendiri. Sebagian besar ummat telah terpenjara dengan jargon-jargon bahwa memenuhi kebutuhan dunia pada hakekatnya telah diperbudak oleh dunia itu sendiri, sehingga banyak ummat yang tidak peduli akan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi adapula sekelompok ummat yang peduli akan pemenuhan kebutuhan dunianya, namun mereka teramat asyik dengan urusan dunianya sehingga melupakan tanggungjawabnya sebagai ummat islam. Dua kondisi inilah yang senantiasa menghantui ummat islam untuk berkiprah. Padahal bila dikaji ajaran islam lebih dalam lagi, ternyata pemenuhan kebutuhan akan "dunia" dengan "akhirat" berada pada posisi yang seimbang. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa ayat Al-Quran, betapa Alloh memerintahkan kepada ummat islam agar senantiasa menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya. Dan Alloh menyatakan bahwa menafkahkan harta dijalan Alloh adalah merupakan jihad fisabilillah yang pertama setelah beriman pada Alloh dan Rasul-Nya (QS 61:10) dan merupakan ciri-ciri orang yang beriman (Qs 2:3).

Yang menjadi tanda tanya besar sampai hari ini adalah, bagaimana mungkin ummat dapat menopang dakwah islam kalau ummat sendiri tidak terdorong untuk melakukan aktivitas pada pemenuhan kebutuhannya? Atau ummat asyik dengan pendekatan hanya pada Tuhan tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial dalam kehidupannya.

Kesemuanya itu tentu saja membutuhkan semangat dan kerja keras dari ummat islam itu sendiri.
 
ILMU YANG BERMANFAAT
Ilmu merupakan identitas keberadaan manusia sejak awal penciptaan. Kelebihan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya salah satunya adalah masalah Ilmu. Ketika Nabi Adam A.S diciptakan, para Malaikat menggugat keberadaan Adam. Lalu dihadapkanlah kepada para Malaikat tentang "benda" dan ketika para Malaikat disuruh menyebutkannya mereka tak mampu. Lalu ketika Alloh perintahkan kepada Adam A.S untuk menyebutkannya, Adam mampu. Pada kesempatan itulah Malaikat mengakui eksistensi Adam lantaran Adam menguasai Ilmu.

Pada lain tempat Alloh memuji dan mendudukkan orang yang beriman dan berilmu pada beberapa tingkatan yang dikehendaki-Nya. (Qs 58:11)

Ketika Rasululloh ditanya oleh orang apa sebaiknya yang harus dimiliki untuk dapat hidup didunia, akhirat, atau kedua-duanya, beliau menjawab "Ilmu".

Betapa pentingnya ilmu itu sampai-sampai Alloh sendiri melarang ummat islam secara keseluruhan pergi kemedan laga, tapi diperintahkan-Nya agar sebagian ummat yang lain mempelajari Ilmu (Qs 9:122).

Pada kurun zaman ini ummat islam jauh tertinggal dalam hal penguasaan IPTEK dari ummat-ummat lain, yang menyebabkan ummat islam amat tergantung pada kemampuan ummat-ummat lain. Ketertinggalan ummat islam dalam hal IPTEK ini membuat ummat islam laksana hidangan yang dikelilingi anjing-anjing kelaparan. Ummat islam senantiasa menjadi objek bagi ummat lain. Dalam kondisi seperti inilah ummat islam menjadi imperior dan minder dalam percaturan politik dunia. Padahal bila kita kaji dan kita sadari, ajaran islam mendorong ummatnya untuk meraih ilmu seluas-luasnya. Perhatikanlah Al-qur'an, betapa ia berbicara tentang penciptaan manusia, hewan, ataupun masalah ruang angkasa, sejarah, masalah sosial, psikologi, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan Rasululloh Saw mewajibkan ummat islam untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahad.
 
ANAK (GENERASI) YANG SHALEH
Terbayang dalam fikiran kita tentang sosok anak yang shaleh adalah seorang anak yang hanya patuh dan taat pada orang tuanya. Pendapat seperti ini tidaklah salah, namun dengan ungkapan seperti di atas terkesan terjadinya salah persepsi tentang hadits ini. Maksudnya anak yang shaleh lebih cenderung dikategorikan pada anak yang mendalami hanya ilmu agama saja (penulis tidak setuju dengan pembedaan ini). Menurut penulis anak yang shaleh dalam hadits ini bisa diartikan sebagai generasi yang mumpuni/berkualitas. Ia memiliki kapabilitas yang tidak diragukan. Untuk itulah Nabi Zakaria A.S amat gundah sekali manakala diusia senja ia belum dikarunia seorang anak sebagai penggantinya kelak, ia senantiasa berdoa dan berdoa (QS.19:3-7).

Sebegitu pentingkah kehadiran seorang anak bagi suatu keluarga sehingga ia amat diharap-harapkan? Ya. Ia sangat penting bagi suatu keluarga. Bahkan bukan saja untuk keluarga tapi ia penting bagi kelanjutan perjuangan ummat islam. Tanpa adanya generasi yang mewarisi, maka tatanan perjuangan yang telah dibentuk akan menjadi kenangan sejarah belaka, dan akan tersimpan diperpustakaan-perpustakaan serta hanya menjadi bahan cemoohan.

Namun demikian generasi yang diharapkan bukanlah hanya mengandalkan dari segi jumlah saja, yang lebih utama adalah kualitas dari para generasinya. Bukankah Alloh mengingatkan kepada orang beriman agar jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah dikemudian hari? (QS 4:9).

Generasi berkualitas/Anak yang shaleh tidaklah datang dengan sendirinya, namun ia harus melewati beberapa tahap pembinaan. Tanpa adanya pembinaan maka generasi/anak yang shaleh tidak pernah akan terwujud. Untuk menciptakan generasi yang mewarisi, perlu kiranya para orang tua memikirkan pola pembinaan kepada anak-anaknya, sehingga nantinya generasi-generasi ummat islam itu mampu berkiprah dalam percaturan dunia dibawah panji-panji Islam. Pembinaan terhadap para generasi hendaknya diarahkan pada dua hal yang utama, yaitu pengenalan (pembinaan) akhlak-akhlak/ajaran Islam dan pembinaan Ilmu Pengetahuan Modern (IPTEK).

Pengenalan akhlak/ajaran Islam

Dewasa ini bisa kita saksikan dengan mata telanjang, betapa ummat islam hampir kehilangan identitas dirinya. Ia tidak lagi banyak mengenal akhlak/ajaran agamanya, baginya kehidupan adalah apa yang datangnya dari barat selain itu kuno dan ketinggalan zaman. Betapa pelecehan-pelecehan ajaran islam kian hari kian bertambah saja. Mode pakaian, pergaulan, perdagangan, dan lain-lain sudah tidak lagi memperhatikan ajaran islam. Ditengah kondisi seperti inilah para orang tua mempunyai tanggung jawab moral yang besar untuk membimbing dan membina serta mengarahkan anak-anaknya pada jalan yang semestinya yaitu ajaran islam. Bukankah Rasululloh Saw sendiri diutus untuk memperbaiki akhlak manusia? Untuk itulah pengenalan ajaran islam hendaknya sejak dini kita berikan kepada anak-anak kita.

Berkenaan dengan pengenalan (pembinaan) akhlak islam, Rasul mengingatkan kepada para orang tua betapa pentingnya pengenalan (pembinaan) anak itu. Sebab ditangan orang tualah anak akan menjadi generasi islam atau generasi kafir. Nabi Saw bersabda.:"Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau, Nasrani, atau Majusi". (HR. Bukhori dari Abu Hurairah).

Hadits ini mempunyai pengertian yang ganda, disatu sisi... secara lahir hadits bahwa anak kita bisa saja pindah ke agama-agama lain bila tidak kita berikan pendidikan dan pemahaman yang benar tentang Islam. Namun dalam pengertian yang lain makna hadits ini bisa lebih luas lagi yaitu akhlak anak-anak kita lambat laun akan mengikuti akhlak-akhlak agama lain. Bukankah dalam kondisi seperti itu anak kita bisa menjadi Nasrani, Yahudi, atau yang lainnya? Coba kita perhatikan sekeliling kita apakah cara berpakaian anak-anak islam sudah mencerminkan akhlak berpakaian Islam? Perhatikan pula cara pergaulan mereka, benarkah mereka menerapkan akhlak islam dalam pergaulannya? Tidak... sekali lagi tidak. Yang mereka ikuti adalah akhlak ajaran Yahudi dan Nasrani. Dalam Al-qur'an Alloh dengan tegas menyatakan bahwa mereka (Yahudi & Nasrani) tidak akan senang kepada kita sampai kita mengikuti ajakan/ajaran mereka (Qs 2:120). Dengan melihat kondisi seperti ini, mau tidak mau sebagai orang tua yang nantinya dimintai tanggungjawabnya oleh Alloh harus berusaha sekuat daya mendidik anak-anaknya. Sejak kecillah anak-anak kita kenalkan ajaran islam. Sebagai contoh, diwaktu kita shalat kita bawa ia shalat, jangan ia kita serahkan keorang lain disaat kita sedang shalat. Bukankah Rasul sendiri memerintahkan kepada kita agar mengajarkan anak kita shalat?

Tentu saja dalam pembinaan anak banyak kendala yang akan kita temui. Dari kondisi didalam rumah, Lingkungan sekitar, teman-teman bermainnya, dan juga masuknya alat-alat modern yang destruktif untuk perkembangan anak. Namun dengan kesungguhan dan niat yang suci hal ini insyaAlloh dapat diatasi.

Pengenalan Alat-Alat Modern
Penguasaan alat-alat modern merupakan suatu kebutuhan yang amat mendesak saat ini. Penguasaan alat modern membutuhkan kemampuan yang cukup, dan ini tentu saja membutuhkan manusia-manusia yang cakap dalam bidang ilmu (generasi mumpuni). Dan manusia yang cakap hanya dapat terwujud apabila kita sebagai orang tua mampu mengarahkan anak-anak kita sehingga anak-anak kita mau mempelajari dan berkecenderungan pada bidang keilmuan modern. Nabi yang suci bersabda "Didiklah anak-anakmu sebab ia diciptakan bukan untuk zamanmu". Betapa jauhnya pandangan Beliau Saw, Beliau sudah mampu memproyeksikan zaman yang akan datang berdasarkan wahyu dari Alloh. Dunia semakin lama berubah demikian juga dengan kemajuan makin lama makin meningkat. Bila hal ini tidak diantisipasi oleh para keluarga muslim didalam membina anaknya dengan ilmu-ilmu modern maka keberadaan ummat Islam akan tetap menjadi objek kemajuan ummat lain.

Dilain hadits beliau mengatakan "Ajarilah anakmu memanah, menunggang kuda, dan berenang". Hadits ini memberi pengertian yang amat luas. Pada zaman dahulu kuda, panah merupakan alat yang sangat modern sekali tentu saja pada kondisi hari ini ia harus kita artikan sebagai penguasaan alat-alat modern.

Pengenalan pertama yang harus kita berikan adalah menanamkan kedalam hatinya tentang pentingnya ilmu, lalu diwujudkan dengan pemberian alat bermain yang kreatif, dan kita dorong dia untuk senantiasa berfikir dan berfikir.

Pengenalan alat modern amat penting bagi kita dan generasi kita. Bukankah dengan mampunya negara adidaya menguasai IPTEK mereka bisa mendikte negara mana saja termasuk negara-negara islam untuk mengikuti kemauan mereka?
 
PENUTUP
Dari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, betapa pemahaman ummat dalam menangkap makna hadits perlu diubah sehingga ummat mampu memberikan sumbangsih kepada masyarakat sekitar sebagai wujud dari rahmatan lil 'alamin. Ladang-ladang pembidahan yang justru menghambat gerak laju dakwah harus segera disingkirkan dari pola pikir ummat.
Juga perlu kiranya difikirkan cara untuk mengelola ketiga potensi tersebut diatas, dengan membuat sebuah program kerja nyata untuk jangka panjang.

Jadi jelaslah bahwa Shadaqah jariyah, Ilmu, dan Anak Shaleh merupakan tuntutan yang mesti kita ciptakan. Hadits pertama diatas seharusnya memberikan semangat kerja dari kita selaku ummat islam. Sebab dengan memperhatikan ketiga-tiganyalah kelangsungan dakwah pergerakan islam akan berlangsung secara terus menerus.

Alloh Berfirman "...Dan Alloh tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri...".

Untuk itulah bila kita menghendaki agar perubahan terjadi pada pergerakan islam seyogianyalah kita memperhatikan hal-hal tersebut diatas sebelum ajal menjemput kita

No comments:

Post a Comment